Valuta Asing

BAB I
PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang
Persoalan perdagangan valuta asing telah menjadi sangat populer, umum dan hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu transaksi yang dipraktekkan di seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara mengalami kemajuan tanpa behubungan dengan perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu selayaknya perdagangan valuta asing diterima dan diadopsi sebagai suatu kebutuhan di bidang akonomi dan bermanfaat serta sulit sekali dipisahkan dari dunia modern.
Karena perkembangan dunia modern saat ini dengan kemajuan teknologi yang sudah sedemikian pesatnya, yang seandainya ketentuan tersebut tidak memiliki sifat elastisitas sesuai dengan perubahan waktu, tempat, situasi dan kondisi, maka justru akan mendatangkan kesulitan, sedangkan nafyul haraj dalam istilah ushul fiqh merupakan suatu keniscayaan.
Makalah ini disusun demi terpenuhinya bahan perkuliahan tugas mata kuliah Fiqh muamalah, yang dibimbing oleh H. Abbas Arfan, Lc, M.H. Guna untuk mengkaji masalah Fiqh Muamalah khususnya dalam “Valuta Asing”.

I.II Tujuan Pembahasan
1. Memahami definisi valuta asing
2. Memahami arti dari jenis-jenis valuta asing
3. Memahami bagaimana valuta asing dalam Perspektif Fiqh
4. Memahami bagaimana dasar-dasar hukumnya

I.III Rumusan Masalah
1. Apa pengertian valuta asing?
2. Apa syarat syarat valuta asing?
3. Apa hukumnya dalam fiqh?
4. Apa solusi dar valuta asing tersebut?

BAB II
PEMBAHASAN

II.I Pengertian Valuta Asing
Valuta asing dalam istilah bahasa Inggris dikenal dengan money changer atau foreign exchange, sedangkan dalam istilah Arab disebut al-sharf. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah disebutkan bahwa al-sharf berarti menjual uang dengan uang lainnya. Al-Sharf yang secara harfiyah berarti penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli. Dengan demikian al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya .Valas atau al-sharf secara bebas diartikan sebagai mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain .
Muhammad al-Adnani mendefinisikan al-sharf dengan tukar menukar uang. Taqiyyudin an-Nabhani mendefinisikan al-sharf dengan pemerolehan harta dengan harta lain, dalam bentuk emas dan perak, yang sejenis dengan saling menyamakan antara emas yang satu dengan emas yang lain, atau antara perak yang satu dengan perak yang lain atau berbeda jenisnya semisal emas dengan perak yang lain . Beliau juga menyatakan bahwa jual beli mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya mencakup beberapa hal sebagai berikut :
1. Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang kertas dinar baru Irak dengan dinar lama.
2. Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dolar dengan pound Mesir.
3. Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.
4. Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dolar Amerika dengan dolar Australia.
5. Penjulan promis (surat perjanjian untuk membeayar sejumlah uang) dengan mata uang tertentu.
6. Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu
Masing-masing dari ke-enam bentuk kegiatan di atas dapat diklasifikasi menjadi dua macam kegiatan, yaitu jual beli dan pertukaran. Sehingga untuk masing-masing kegiatan tersebut dapat diberlakukan hukum jual beli dan pertukaran. Penjualan mata uang dengan mata uang yang serupa atau penjualan mata uang dengan mata uang asing dalam Islam inilah yang kemudian disebut sebagai al-sharf.
Valas bersifat interbank karena waktu perdagangannya yang secara kontinyu mengikuti waktu perdagangan masing-masing negara dan bisa diasumsikan bahwa pasar valas buka 24 jam. Ada beberapa golongan yang aktif melakukan transaksi jual beli valas, yang dapat digolongkan kepada 7 golongan berikut contohnya, yaitu :
a. Perusahaan.
Perusahaan menggunakan pasar valuta asing untuk mempermudah pelaksanaan transfer investasi atau komersil. Kelompok ini terdiri dari para importir, investor internasional dan perusahan-perusahaan multinasional. Mereka menggunakan pasar valuta asing untuk tujuan investasi.
b. Masyarakat atau Perorangan
Masyarakat dan perorangan dapat melakukan transaksi valas untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya yaitu, Ayah mengirimkan uang untuk anaknya yang sedang sekolah di Amerika, maka terlebih dahulu Ayah harus membeli dolar atau menukar rupiah dengan dolar Amerika.
c. Bank Umum dan Non Bank
Bank Umum dan non bank beroperasi di kedua pasar antar bank dan nasabah. Mereka melayani nasabah yang ingin bertransaksi valas. Mereka ini memperoleh keuntungan dengan membeli valuta asing pada harga permintaan (bid) dan menjualnya kembali pada harga yang sedikit lebih tinggi dari pada harga penawaran (offer).
d. Broker atau Perantara
adalah orang atau persahaan yang tugasnya adalah menjadi perantara aktifitas transaksi valas.
e. Pemerintah
Pemerintah melakukan valas untuk berbagai tujuan antara lain membayar cicilan hutang ke luar negeri, penerimaan hutang dari luar negeri yang harus ditukar ke valuta sendiri.
f. Bank Sentral
Di banyak negara, Bank sentral tidak berada di bawah kendali pemerintah, dia merupakan lembaga independen yang bertugas menstabilkan perekonomian. Bank-bank sentral menggunakan pasar valas ini untuk memperoleh cadangan devisa dan juga mempengaruhi harga di mana mata uangnya diperdagangkan.
g. Spekulator dan arbitrase
Arbitrase pada prinsipnya merupakan suatu bentuk spekulasi yang terdapat dalam valuta asing, di mana mereka membeli suatu valuta asing di suatu pusat keuangan kemudian menjualnya kembali di pusat keuangan lain untuk memperoleh keuntungan.

II.II Jenis-Jenis Valuta Asing
1. Transaksi Spot
adalah pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
2. Transaksi Forward
Transaksi forward disebut juga dengan transaksi berjangka yang pada prinsipnya adalah transaksi sejumlah mata uang tertentu dengan sejumlah mata uang lainnya dengan penyerahan pada waktu yang akan datang.


3. Transaksi Swap
Transaksi swap adalah transaksi pembelian dan penjualan bersamaan sejumlah tertentu mata uang dengan 2 tanggal valuta (penyerahan) yang berbeda. Pembelian dan penjualan mata uang tersebut dilakukan pada bank lain yang sama. Jenis transaksi swap yang umum adalah spot terhadap forward.Dalam mekanisme swap, terjadi dua transaksi sekaligus dalam waktu yang bersamaan yaitu menjual dan membeli atau menjual dan membeli suatu mata uang yang sama.
4. Transaksi Option
Transaksi option yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.
Dari beberapa macam jenis dari valuta asing di atas, tidak semua dipandang sesuai dengan syari’at Islam, dalam arti ada jenis yang dihukumi haram, dan ada pula yang hukumnya sah menurut Islam. Adapun hukum-hukumnya bisa dilihat dalam fatwa yang dikeluarkan fatwa Dewan Syari’ah yang dituliskan dalam pembahasan terakhir.

II.III Jual Beli Valuta Asing Dalam Perspektif Fiqh
Secara normative hukum Isalam, jual beli valuta asing yang dilakukan saat sekarang tidaklah berubah fungsi uang dalam Islam. Karena al-sharf yang dijadikan sebagai salah satu jasa perbankan tidaklah sama dengan perdagangan uang atau memperjual belikan uang yang dalam banyak hal telah merugikan masyarakat banyak.
Perbedaan antara al-sharf dengan perdagangan uang atau jual beli uang, terletak pada hukum yang diterapkan pada al-sharf. Walaupun al-sharf itu merupakan salah satu variasi dari jual beli, akan tetapi ia tidak dihukumi dengan konsep jual beli secara umum, karena dalam konsep jual beli boleh untuk di tangguhkan. Sedangkan dalam variasi jual beli uang dengan uang memakai hukum khusus yang tidak terdapat dalam bai’ mutlak (jual beli barang dengan uang) dan bai’ muqayyadah (jual beli barang dengan barang) yaitu dalam hal time settlement-nya. Artinya dalam aqad al-Sharf ini harus dilakukan secara tunai (tidak boleh ditangguhkan).
Sebagaimana diketahui, bahwa jual beli itu bisa berupa ayn (goods dan service) yang berarti barang dan jasa, atau juga berupa dayn (financial obligation). Objek jual beli yang berupa dayn dengan dayn, hukumnya adalah tidak sah karena hal tersebut telah menjadikan dayn sebagai ayn. Akan tetapi ketika kedua bentuk dayn itu adalah berupa mata uang, maka ia adalah al-sharf yang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat kedua mata uang tersebut harus diserahkan secara langsung (tunai) sebelum para pihak berpisah. Sehingga akad al-sharf ini bisa disebut sebagai pengecualian dari aqad lain yang obyeknya berupa dayn.
Tujuan dari keharusan tunai dalam aqad al-sharf ini adalah untuk menghindari adanya gharar yang terdapat dalam riba fadl. Gharar dalam aqad al-sharf ini akan lenyap karena time of settlement-nya dilaksanakan secara tunai. Sedangkan dalam aqad yang obyeknya berupa barang, maka selain masa penyerahannya yang harus tunai, juga harus sama dalam hal kualitas dan kuantitasnya. Justru merupakan satu hal yang tepat, ketika Ibn Taimiyah mensyaratkan harus dilakukan secara simultan (taqabud) dalam transaksi perdagangan uang.

II.IV Dasar Hukum al-Sharf
Praktek al-sharf hanya terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan dalam Islam berdasarkan firman Allah QS. al-Baqarah ayat 275:
                      •                       •     
“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu”.
Kemudian dalam hadis Rasulullah juga disebutkan bahwa :
“Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian.” (HR. Bukhari).
“Kami telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku dengar.” (HR. Abu Hurairah)
Dari beberapa Hadis di atas dipahami bahwa hadis pertama merupakan dalil tentang diperbolehkannya al-sharf serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadis kedua, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya al-sharf, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.

II.V Syarat-Syarat Dan Batasan-Batasan Al-sharf
1. Serah terima sebelum iftirak (berpisah)
Maksudnya yaitu transaksi tukar menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah. Hal ini berlaku pada penukaran mata uang yang berjenis sama maupun yang berbeda, oleh karena itu kedua belah pihak harus melakukan serah terima sebelum keduanya berpisah meninggalkan tempat transaksi dan tidak boleh menunda pembayaran salah satu antara keduanya. Apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, maka jelas hukumnya tidak sah.
Namun terdapat beberapa interpretasi yang berbeda di kalangan ulama mengenai istilah iftirak, yaitu:
1. Jumhur ulama seperti ulama Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa yang dimaksud iftirak adalah apabila kedua belah pihak telah meninggalkan tempat transaksi. Apabila kedua belah pihak belum beranjak dari tempat maka tidak dikatakan iftirak meski dalam waktu yang lama. Pengertian ini didasari kepada Umar bin Khatab ketika meriwayatkan sebuah hadis, lalu beliau berkata kepada thalhah: ”demi Tuhan, jangan kamu tinggalkan orang itu sebelum menerima sesuatu darinya.” dalil ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar iftirak adalah pisah badan.
2. Ulama Maliki berpendapat bahwa iftirak badan bukan merupakan ukuran sah atau tidaknya suatu transaksi. Yang jadi ukuran yaitu serah terima harus dilakukan ketika pengucapan ijab dan kabul berlangsung. Maksudnya, jika serah terima dilakukan setelah ijab kabul, maka transaksi tersebut dianggap tidak sah, sekalipun kedua belah pihak belum berpisah badan. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: ” emas dengan emas adalah riba, kecuali ha wa ha (ucapan ambil dan bayar).” hal ini menunjukkan bahwa serah terima harus dilakukan seketika bersamaan dengan ijab kabul.
2. Al-Tamatsul (sama rata)
Pertukaran uang yang nilainya tidak sama rata maka hukumnya haram, syarat ini berlaku pada pertukaran uang yang satu atau sama jenis. Sedangkan pertukaran uang yang jenisnya berbeda, maka dibolehkan al-tafadhul. Misalnya yaitu menukar mata uang dolar Amerika dengan dolar Amerika, maka nilainya harus sama. Namun apabila menukar mata uang dolar Amerika dengan rupiah, maka tidak disyaratkan al-tamatsul. hal ini praktis diperbolehkan mengingat nilai tukar mata uang dimasing-masing negara di dunia ini berbeda.
Dan apabila diteliti, hanya ada beberapa mata uang tertentu yang populer dan menjadi mata uang penggerak di perekonomian dunia, dan tentunya masing-masing nilai mata uang itu sangat tinggi nilainya .
3. Pembayaran Dengan Tunai
Tidak sah huukmnya apabila di dalam transaksi pertukaran uang terdapat penundaan pembayaran, baik penundaan tersebut berasal dari satu pihak atau disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat ini terlepas dari apakah pertukaran itu antara mata uang yang sejenis maupun mata uang yang berbeda.
4. Tidak Mengandung Akad Khiyar Syarat
Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf baik syarat tersebut dari sebelah pihak maupun dari kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama hukumnya tidak sah. Sebab salah satu syarat sah transaksi adalah serah terima, sementara khiyar syarat menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal ini tentunya dapat mengurangi makna kesempurnaan serah terima. Menurut ulama Hambali, al-sharf dianggap tetap sah, sedangkan khiyar syaratnya menjadi sia-sia.
Seseorang yang melakukan perdagangan valuta asing wajib memperhatikan batasan tersebut dan wajib menjauhkan diri dari pasar gelap. Jika mereka melakukan penyimpangan karena melakukan pemerasan, maka yang semula halal akan menjadi terlarang karena dapat merugikan.
Dalam hal perdagangan mata uang asing ini, Imam al-Subki sebagaimana dikutip Sura’i mengatakan bahwa pendapat yang populer pada mazhab Syafi’I adalah boleh hukumnya melakukan transaksi dengan mata uang dirham yang tengah berlaku walaupun ditukar dengan dirham biasa,
Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa tukar menukar uang yang satu dengan uang yang lain diperbolehkan. Begitu pula memperdagangkan mata uang asalkan nama dan mata uangnya berlainan atau nilainya saja yang berlainan, namun harus dilakukan secara tunai.
Dalam hal memperjualbelikan mata valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, Yusuf al-Qardhawi mengatakan tidak diperbolehkan. Oleh karena itu tidak sah jual beli uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai ketika di tempat transaksi.
Ada hal penting yang tersirat dari hadis hadis Nabi maupun penafsiran para ahli hukum Islam tentang perdagangan valuta asing ini, yaitu bertujuan agar tidak ada pihak-pihak yang di rugikan dan dizalimi, dan tidak mendatangkan mudharat bagi masyarakat banyak. Persoalan yang merupakan masalah yang berkaitan dengan hajat orang banyak terhadap kebutuhan ekonomi.
Oleh sebab itu, dapat dimengerti mafhum mukhalafah dari hikmah yang terkandung dari ketentuan di atas. Di satu sisi pertukaran dan perdagangan valuta asing merupakan suatu kebutuhan untuk perdagangan internasional dan kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan negara lain.
Akan tetapi di sisi lain, harus dapat pula menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang syari’ah dan perilaku yang mendatangkan kemudharatan. Pada kasus perdagangan valuta asing saat sekarang, yang notabene tidak secara tunai dan tidak simultan penyerahan dana ketika transaksi disepakati, merupakan fenomena yang tidak sesuai dengan ketentuan syari’ah.
Ada baiknya ketentuan harus tunai dan simultan itu untuk ditinjau kembali secara mendalam, karena perkembangan dunia modern saat ini dengan kemajuan teknologi yang sudah sedemikian pesatnya, yang seandainya ketentuan tersebut tidak memiliki sifat elastisitas sesuai dengan perubahan waktu, tempat, situasi dan kondisi, maka justru akan mendatangkankesulitan, sedangkan nafyul haraj dalam istilah ushul fiqh merupakan suatu keniscayaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing) dibatasi oleh beberapa syarat, dan syarat-syarat itu telah disebutkan oleh para ulama dalam penukaran emas dan perak yang mana berlaku juga dalam penukaran mata uang yang ada pada zaman setelahnya.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli hukum Islam, dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya mereka sepakat tentang bolehnya memperjual belikan valuta asing dari jenis mata uang apapun dan dari negara manapun. Tetapi juga mereka sepakat bahwa transaksi valuta asing harus dilakukan secara tunai dan bertangguh. Hal ini didasarkan pada ketentuan syari’ah seperti yang dijelaskan oleh hadis hadis Nabi di atas.
Ada hal penting yang tersirat dari hadis hadis Nabi maupun penafsiran para ahli hukum Islam tentang perdagangan valuta asing ini, yaitu bertujuan agar tidak ada pihak-pihak yang di rugikan dan dizalimi, dan tidak mendatangkan mudharat bagi masyarakat banyak.
Afzalur Rahman mengutip pendapat Imam Hanafi, bahwa jika suatu bisnis secara umum diterima dan dilakukan oleh orang banyak, maka bisnis tersebut menjadi halal, karena merupakan kebutuhan. Akan tetapi jika perdagangan valuta asing tersebut dilakukan dengan tujuan untuk spekulasi, dan merusak sistem prekonomian suatu negara, maka hal inilah yang sangat bertentangan dengan tujuan syari’ah.
Akan tetapi jika perdagangan valuta asing tersebut dilakukan dengan tujuan untuk spekulasi, dan merusak sistem prekonomian suatu negara, maka hal inilah yang sangat bertentangan dengan tujuan syari’ah.
Solusi yang terbaik untuk hal itu adalah mengadopsi dan menyesuaikan sistem perdagangan valuta asing yang ada dengan prinsip-prinsip yuridis syar’i (hukum Islam), dan penulis sepakat dengan pendapat Yusuf al- Qardhawi dan Imam Malik batasan tunai dan tangguh diserahkan kepada adat kebiasaan masyarakat sesuai dengan kaedah ushul fiqh al adatu muhakamah.

II.VI Contoh-Contoh Pelaksanaan Valuta Asing
Berikut ini adalah contoh-contoh yang diambil dari salah satu literatur yang khusus membahas masalah-masalah jual beli yang dipertanyakan oleh orang-orang yang ingin mendapatkan hukum yang benar sesuai dengan syari’at Islam, dan jawaban yang diberikan merupakan hasil dari musyawarah yang dilakukan oleh kelompok bahstul masail terkenal.
Seorang dokter berkebangsaan Mesir bekerja si Saudi menabung sebagian uang dari gajinya disalah satu Bank di Saudi. Saat dia akan pulang, dia berniat untuk menukar mata uang Saudi ke pound Mesir. Di mesir dia akan mendapat dua hal yaitu menukarkannya di bank atau di money changer. Di Mesir nilai tukar satu dolar mencapai 80 qirsy mesir. Jika dia menukarkannya kepada pedagang mata uang maka harga satu dolar bisa mencapai 120 qirasy mesir. Apakah hal tersebut haram?. Jawabannya adalah apabila dia menukarkan uang kepada pedagang valas dengan harga 120 qirsy dari jenis yang berlainan, maka hukumnya halal .


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Valuta Asing (Valas) dalam istilah bahasa Arab adalah al-Sharf yang secara harfiyah berarti penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli. Dengan demikian al-Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya.
Adapun jenis-jenis valuta asing ada 4 macam, yaitu:
 Transaction Spot (transaksi spot),
 Forward transaction (Trasaksi berjangka).
 Swap trasaction (Transaksi swap),
 Transaksi option
Dalam perspektif ulama fiqh transaksi valas harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: Serah Terima Sebelum al-iftirak, al-Tamatsul (Sama rata), tidak terdapat akad tersebut Khiyar al-Syart, harus di bayar dengan tunai.
Dasar hukum al-Sarf dalam Islam terdapat dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 275, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan hadits-hadits yang lain, serta fatwa Dewan Syari’ah Nasional dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Rapat Pleno di Jakarta pada hari Kamis, 14 Muharam 1423 H/28 Maret 2002 dengan Surat dari Pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI No. UUS/2/878.






DAFTAR PUSTAKA
Ad-Duwaisy, Ahmad bin ‘Abdurrazzaq. 2005. Fatwa-fatwa jual Beli. Bogor: Pustaka Imam Syafi’i.
Al-Bukhari, ‘Abd Allah Muhammad ibn Ismail. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1991.
an-Nabhani, Taqyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspefektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti
Berlianta, Heli Charisma. 2005. Mengenal valuta asing. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sjahdiyni, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Susanto, Ivan. 2007. Forex trading. Yogyakarta: Andi Offset.
Thaher, Asmuni M. 2008. http://msi-uii.net/baca.asp
0 Responses