IJTIHAD HAKIM AGAMA DALAM KONTEKS UU

IJTIHAD HAKIM AGAMA DALAM KONTEKS UU

· Pengertian Ijtihad

Secara etimologi ijtihad berasal dari kata jahda yang berarti masyqqah (yang sulit yang susah). Namun dalam al-qur’an kata jahda sebagaimana dalam surat an-nahl:38,an-Nur:53,FAthir:42 semuanya menganding arti badzl al-wus’I wa thaqaqi(pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan).

Al-Zubaidi berpendapat bahwa kata juhda dan jahda mempunyai arti kekuatan dan kesanggupan, sedang bagi ibnu katsir jahda berarti yang sulit,berlebih-lebihan atau bahkan tujuan, sedang sa’id al-taftani memberikan arti ijtihaad dengan tahmil al-juhdi (kearah yang membutuhkan kesungguhan) kendati semua arti itu,maka ijtihad merupakan pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai bata puncaknya.

“Ijtuhad” Sangat erat kaitannya dengan Fatwa Dan putusan sebagai produk hokum. Dalam islam kedua hal tersebut dianjurkan berijtihad (seseorang yang memenuhi persyaratan), malah menurut islam bila seseorang berijtihad tapi hasilnya salah, maka ia mendapatkan satu pahala. Dan bila hasil ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala, ya’ni satu pahala ijtihad,dan satu lagi pahala kebenaran yang di dapat.

Fatwa merupakan sebagai hasil ijtihad, dimana seorang mujtahid mengistinbatkan hokum baik untuk dirinya maupun untuk orang lain mengenai hal-hal yang telah terjadi,dan terkadang mengenaihal yang belum terjadi.sedankan fatwa mengenai hal-hal yng telah terjadi.

· Syarat – Syarat Mujtahid

Menurut Nadiyah Syarif Al-Umari dalam bukunya “al-ijtihad,fi al-islam menyatakan bahwa rukun melakukan Ijtihad terdiri dari empat macam :

· AL-Waqi’ yanitu adanya kasus yang menimpa, yang belum diterangkan dalam nash, atau kasus yang diduga keras akan terjadi kelak,sehingga masalah ijtihad tidak sebatas masalah yang terjadi,tetapi juga mencakup masalah-masalah yang belum terjadi, baik yang terpikirkan,tak terpikirkan atau belum terpikirkan.

· Mujtahid

Yaitu seseoranga yang melakukan ijtihad yang mempunyai kompetensi dalam berijtihad dengan syrat-syarat terentu.

· Mujtahid Fih

Yaitu hukum-hukum syari’at yamg bersifat amali.

· Dalil Syara’

Yaitu untuk menentukan suatu hokum bagi mujtahid fih.

· . Pengetahuan Hakim

Seornga hakim yang ingin melakukan sebuah ijtihad dalam memutuskan suatu perkara haruslah berpengetahuan yang luasdan pandai dalam membaca indikasi-indikasi, petunjuk situasi dan kondisi, konfiksi dan implikasi dari perkara yang diajukan kepadanya,baik yang berujud perbuatan maupun perkataan, sebagaimana kapabilitas keilmuannya mengenai hokum. Jika tida demikian, maka keputusan hokum yang dijatuhkannya akan merugikan pihak yang semestinya memperoleh haknya. Orang akan mengetahui kekeliruanh hanya berpijak pada kebenaran formil semata, tanpa berusaha menggali kebenaran materiil dengan memperhatikan indikasi dan implikasi yang tampak.

Dalam hal ini hakim haruslah memiliki dua pengetahuan : yaitu : pengetahuan tentang hokum dan mengetahu tentang peristiwa huku yang semestinya. Dia harus mengkonstantir peristiwa hokum yang terjadi, lalu menkwalifisirnya, dan selanjutnya menkonstiturnya dengan menerapkan hokum yang semestunya pada peristiwa itu.

4. Unsur-Unsr Peradilan

a. Hakim Atau Qadhi

Orang yang diangkat oleh kepala Negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.

b. Mahkum Bihi

Didalam qodha’ ilzam dan qadha’ iztiqoq yang diharuskan oleh qadhi si tergugat harus memenuhinya. Dan didalam qadha’ tarki ialah menolak gugatan. Karena demikian maka dapat disimpulkan bahwa mahkum itu adalah suatu hak.

c. Mahkum Alaih (si terhukum)

Ya’ni orang yang di jatuhi hukuman atasnya

d. Mahkum lahu

yaitu orang yang menggugat suatu hak..

e. Hukum

Yatiu putusan hakim yang di tetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Hokum ini adakalnya dengan jalan ilzam, yaitu seperti hakim berkata saya menghukum engkau dengan membayar sejumlah uang. Ada yang berpendapat bahwa putusan ilzam ini ialah menetapkan sesuatu dengan dasar yang meyakinkan seperti berhaknya seseorang anggota serika untuk mengajukan hak suf”ah sedang qada’ istiqaq ialah menetapkan sesuatu dengan hukum yang diperoleh dari ijtihad, seperti seorang tetangga yang mengajukan suf’ah.

· Ijtihad Hakim Agama Dalam Konteks UU

Di dalam upaya mewujudkan keadilan berdasrkan ketuhanan yang maha esa, penegak hukm bukan sekedar berperan memantapkan kepastian hokum, melainkan juga keadilan. Karna hal itu secara resmi tercantum dalam pasal 4 ayat 1 UU No,14 Tahun 1970 tentang ketentua-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman “

“ demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”

Dalam kaitan ini peran hakim bersifat spiritual, bukan lahiriyah,oleh karena itu, tidak salah jika dalam penjelasan UU kehakiman dengan tegas di cantumkan peran dan tanggung jawab hakimdalam mewujudkan keadilan.

Sebelum UU No.14 Tahun 1970,1 umum, butir enam dijelaskan :

“ Pada hakekatnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hokum dan keadilan tersebut,baik/buruknya tergantung dari manusia-manusia pelaksananya,in casu para hakim; maka untuk itu perlulah UU tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan ini di cantumkan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang hakim,yaitu jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.”

Disamping yang lahiriyah, terdapat tanggung jawab hakim yang bersifat batiniyah, yaitu :

“ Bahwa karena sumpah jabatannya, dia tidak hanya bertanggung jawab pada hokum, kepada diri sendiri,dan kepada rakyat,selain itu juga bertanggung jawab kepada tuhan yang maha esa. Yang didalam UU dirumuskan dengan ketentuan bahwa pengadilan dilakukan, demi berdasrkan ketuhanan yang maha esa” (Penjelasan 1 Umum, Butir Enam,Alinea Terakhir)

Dengan penjelasan tersebut diatas, hendaknya tidak ada lagi keraguan dikalangan umat islam dan bangsa Indonesia tentang peran hakim dalam menegakkan hokum dan keadilan. Kaaupun selama brtahun-tahun pelaksanaan UU tersebut masih terjadi berbagai penyimpangan, hal itu karena semata-mata karena masih banyak hakim yang menjabarkan hokum secara harfi’ah dan mengabaikan tujuan hokum yang sebenarnya. Tujuan hokum yang sebenarnay tidak hanya dirumuskan dalam kata’kata,tetapi dapat dapat dihayati dan di pahami, karena bersumber pada hati nurani manusia.

Dalam pasal 4 ayat 1 dan pasl 14 ayat 1, serta pasal 27 ayat 1 UU No.14 1970 beserta penjelasannya,secara tersirat tampak bahwa huku hanya sekedar sarana, bukan tujuan, disamping tanggung jawab hakim meliputi :

1, Memuttuskan atas nama tuhan yang maha esa (pasal 4 ayat 1)

2. memuts sebagai hakim yang bijaksanadan bertanggung jawab,pertama kepad tuhan yang maha esa (pasal 14 ayat 1)

3, mengadili,mnemu,dan merumus hokum yang sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dikalangan rakyat (pasal 27 ayat 1)

- Dalam pasal 161 HIR/188 R.Bg

a). Sesudah pemeriksaan perkara itu sudah di selesaikan dengan sebaik-baiknya, baik dalam waktu persidangan permulaan maupun dalam persidangan kemudian, maka setelah di suruh keluar kedua belah pihak, saksi, dan orang yang mendengarkan, haruslah pengadilan meminta pertimbangan pemasehat yang hadir pada waktu perkara itu di periksa dalam persidangan menurut pasal 7 reglemenn tentang aturan hakim mahkamah serta kebijaksanaan justitie di Indonesia (stbld. 1914 No.317)

b). Kemudian pengadilan bermusyawarah dan membuat keputusan menurut aturan pada pasal 39 dan 40 reglemen tersebut tadi.

- Dalam Pasal 178 HIR/189 R.Bg

a). Karena jabatannya. Hakim wajib waktu bermusyarwarah mencukupkan semua alas an hukm yang tidak boleh keduas belah pihak dikemukakan.

b). Hakim wjib mengadili semua bagian gugatan.

c). Hakim dilarang menjatuhkan putusan ats hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebihdari pda yang di gugat.

KESIMPULAN

Dari pemaparan-pemaparan diatas kia dapat mengambil kesimpulan sebagai beikut:

· Iijtihad merupakan pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.

· Syarat sahnya seorang Hakim dalam melakukan Ijtihad

· AL-Waqi’ yanitu adanya kasus yang menimpa, yang belum diterangkan dalam nash, atau kasus yang diduga keras akan terjadi kelak,sehingga masalah ijtihad tidak sebatas masalah yang terjadi,tetapi juga mencakup masalah-masalah yang belum terjadi, baik yang terpikirkan,tak terpikirkan atau belum terpikirkan.

· Mujtahid

Yaitu seseoranga yang melakukan ijtihad yang mempunyai kompetensi dalam berijtihad dengan syrat-syarat terentu.

· Mujtahid Fih

Yaitu hukum-hukum syari’at yamg bersifat amali.

· Dalil Syara’

Yaitu untuk menentukan suatu hokum bagi mujtahid fih.

pasal 4 ayat 1 UU No,14 Tahun 1970 tentang ketentua-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman “

“ demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.”

Juga tercantum dalam pasal 161 HIR/188 R.Bg dan Pasal 178 HIR/189 R.Bg.

DAFTAR PUSTAKA

· Nadiyah Syarif al-Umari, al-ijtihad fi al islam : Ushuluhu,Ahkamuhu,Afaquhu.Beirut). muassasah risalah,1981).

· Basiq Djalil ahmad, peradilan Agama Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, jkt, 2006.

· Muhaimin,yusuf mudhakkir,Abd Mujib,kawasan dn wawasan hokum islam,jkt, Prenada Sosial.

· Qayyim Ibnu Aljauziyah, Hukum Acara peradilan Hukum Islam,Pustaka pelajar.2005

· Siregar Bismar Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan, Gema Insani Press, jkt,1995.

.Fausen Muhammad, pokok-pokok hokum acara perdata peradilan agama & mahkamah syari’ah di Indonesia, kencana sperdan media group, jkt,
0 Responses