IJTIHAD HAKIM AGAMA DALAM KONTEKS UNDANG-UNDANG

· Hakim dan Problematikanya

Hakim dalam term Islam merupakan sumber hukum, yaitu Allah SWT. Hal ini terlihat jelas dalam terminologi “hukum” yang dikemukakan oleh kalangan ushuliyyin, yaitu khitab (titah) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf. Terminologi ini menunjukkan bahwa sumber hukum tersebut adalah Allah SWT. Oleh sebab itu, Allah SWT lah yang dinamakan sebagai hakim yang sebenarnya dalam Islam.

Dalam pengertian lain, hakim disinonimkan dengan kata al-qadhi. Keduanya memiliki kesamaan makna, yaitu orang yang memutuskan perkara dan menetapkannya atau dikatakan juga sebagai pelaksana undang-undang atau hukum di dunia Islam. Untuk itu, hakim dikatakan sebagai “yang menyelesaikan persoalan hukum yang dihadapkan kepadanya, baik yang menyangkut hak-hak Allah maupun yang berkaitan dengan pribadi hamba secara individual.”

Hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah SWT mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis, tetapi juga mempunyai resiko yang berat. Dikatakan penting dan strategis, karena melalui produk hukum yang ditetapkannya diharapkan dapat mencegah segala bentuk kezaliman yang terjadi di tengah masyarakat, atau setidaknya dapat meminimalisir, sehingga ketentraman dalam suatu komunitas dapat direalisasikan. Disamping itu, resiko yang dihadapi pun cukup berat, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia akan berhadapan dengan mereka yang tidak puas dengan keputusannya, sedangkan di akhirat diancam dengan hukuman sebagai ahli neraka jika tidak menetapkan keputusan sesuai dengan yang seharusnya.

Untuk menghindari resiko yang cukup berat tersebut, para intelektual hukum Islam telah berijtihad menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menduduki jabatan sebagai hakim, yaitu laki-laki, baligh, berakal, merdeka, Islam, adil, tidak rusak pendengaran dan penglihatannya. Al-Shanani menambahkan, seorang hakim harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang al-Quran dan seluk beluk keilmuannya, sunnah, ijma’ulama salaf, ilmu ketatabahasaan, dan qiyas.

Persyaratan baligh dan berakal bagi seorang hakim dikedepankan karena seorang hakim tidak hanya dituntut sebagai seorang yang telah dewasa, lebih dari itu ia mesti dapat mengolah rasio berdasarkan logika formal kapan dibutuhkan. Persyaratan merdeka adalah karena seorang budak dipandang tidak cakap secara hukum dan tidak sempurna kesaksiannya, karena ia merupakan milik tuannya.

Seorang hakim diharuskan beragama Islam, karena untuk menerapkan dan menetapkan hukum terhadap kemunitas Islam haruslah seorang Islam yang memahami hukum Islam. Orang Islam yang fasiq masih diperselisihkan oleh para ulama tentang kebolehannya menjadi hakim. Namun yang lebih utama dalam mengatasi polemik yang terjadi ditetapkan persyaratan lain, yaitu seorang hakim harus bertindak dan memiliki sifat adil, meskipun terhadap dirinya sendiri.

Demikian juga halnya dengan persyaratan tidak rusak pendengaran dan penglihatannya, karena orang yang rusak penglihatan dan pendengarannya tidak akan dapat menjalankan fungsi dan kompetensinya sebagai hakim. Mata dan telinga merupakan alat yang vital bagi hakim untuk melihat, mengamati, dan mendengar berbagai alat bukti dan peristiwa yang terjadi selama persidangan.

Seorang hakim juga dituntut memiliki kapasitas dan kapabilitas intelektual yang, terutama sekali, dibutuhkan dalam lapangan ijtihad. Secara umum dipahami bahwa ijtihad merupakan usaha pengerahan pikiran secara optimal dari orang yang memiliki kompetensi untuk itu dalam menemukan suatu kebenaran dari sumbernya dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Khususnya dalam bidang fikih, ijtihad diartikan sebagai usaha pikiran secara optimal dari ahlinya, baik dalam menyimpulkan hukum fikih dari al-Quran dan Sunnah maupun dalam penerapannya. Dari definisi tersebut terlihat bahwa dalam lapangan fikih terdapat dua bentuk ijtihad, yaitu ijtihad untuk menyimpulkan hukum dari sumbernya dan ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad dalam bentuk pertama disebut ijtihad istinbathi, sedangkan dalam bentuk kedua disebut ijtihad tathbiqi. Lapangan ijtihad istinbathi adalah al-Quran dan Sunnah yang dijadikan sumber oleh para hakim dan juris Islam lainnya dalam membuat rumusan hukum. Pada periode awal Islam ijtihad seperti ini diperlukan, disamping ijtihad tathbiqi, dan merupakan persyaratan bagi seseorang yang akan diangkat menjadi hakim. Dalam era modern, bahkan post-modern ini, ijtihad istinbathi tidak banyak terkait dengan tugas para hakim. Hal ini disebabkan karena aturan-aturan hukum telah terkodifikasi secara baik dalam kitab-kitab fikih dan kompilasi hukum Islam, seperti kitab Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. Meski demikian, hal tersebut tidak menafikan pentingnya kapasitas dan kapabilitas intelektuan seorang hakim. Kemampuan intelektual seorang hakim untuk masa sekarang lebih banyak tercurah pada ijtihad tathbiqi. Lapangan ijtihad ini adalah tempat penerapan hukum, yaitu manusia dengan segala ihwalnya yang selalu berubah dan berkembang. Seiring dengan perkembangan manusia, ijtihad tathbiqi tidak pernah terputus selama umat Islam bertekad untuk mengimplementasikan ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Untuk itu ijtihad tathbiqi berkaitan erat dengan tugas para hakim, karena peran hakim sebagai penegak hukum tidak cukup hanya dengan penguasaan (materi) hukum belaka, tetapi juga memerlukan kemampuan untuk menerapkannya secara benar dan proporsional.

Seorang ahli fikih tidak dengan sendirinya layak menjadi seorang hakim, karena dari seorang hakim tidak hanya diperlukan penguasaan hukum. Lebih dari itu, juga diperlukan pandangannya dalam melihat suatu kasus dan latar belakangnya, serta memiliki kemampuan untuk membedakan mana pernyataan yang benar dan yang bohong, mana yang hak dan yang batil

Persyaratan-persyaratan diatas diperlukan guna terselenggaranya peradilan yang berwibawa, obyektif, dan berorientasi kepada tegaknya supermasi hukum, sehingga akan melahirkan kepastian hukum dalam peradilan.

· Metode ijtihad hakim agama dalam konteks UU

Di samping Peraturan perundang-undangan yang memiliki kelebihan dan kebaikan, akan tetapi peraturan perundang-undangan juga mempunyai kelemahan atau kekurangan antara lain:

· Sebagai buatan manusia,peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap.

· Deskripsi-deskripsi yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pada umumnya pada umumnya mencerminkan keadaan,pandangan, keinginan pada saat pembuatanya.

· Sebagai bentuk hokum tertulis, peraturan perundang-undangan tidak fleksibel.

· Kadang-kadang rumusam peraturan perundang-undangan tidak jelas.

Hal-hal di atas merupakn tangtangan bagi hakim agama yang di satu pihak harus menerapkan peraturan perundang-undangan, akan tetapi di pihak lain kalau penerapan tersebut tidak sesuai dengan fakta, keadaan bahkan tujuan hokum maka akan menimbulkan ketidak pastian dan ketidakadilan. Untuk memungkinkan peraturan perundang-undangan terterap sebagai mana mestinya,hamper swluruh hakim harus melakukan penafsiaran dan berijtuhad.

Terdapat berbagai cara atau metode metode yang harus di gunakan hakim agama dalam berijtihad atau melakukan penafsiran:

· Penafsiran otentik atau bpenafsiran resmi yaitui penafsiran yang di buat oleh pembentuk peraturan perundang-undangan yang di lengkapi penafsiran resmi, yatu UU dan peraturan pemerintah.karena merupakan maksud dan kehendak pembuat Undang-undang, ada pendapat yang menyataakan bahwa penafsiran resmi menempati urutan yang pertama dalam metode penafsiran.sudah sewajarnya hakim harus pertama-tama harus melihat kehendak, maksud, dan arti yang di berikan pembuat peraturan perundang-undangan

· Penafsiran Gramatika (tata bahasa) yaitu penafsiran yang menggunakan ilmu tata bahasa sebagai cara untuk menemukan arti,kehendak dan maksud suatu peraturan perundang-undangan. Tata bahasa disini baik dalam ilmu kata-kata maupun kalimat. Bahasa sebagai mana kehidupan bersifat dinamis barubah dari waktu ke waktu arti kata dapat berubah sesuai dengan keadaan.

· Penafsiran menurut sejarah {penafsiran historis} yaitu penafsiran historis erat kaitannya dengan penafsiran otentik. Persamaanya, penafsiran tersebuat sama-sama menengok ke belakang yaitu saat peraturan perundang-undangan terbentuk. Perbedaanya adalah penafsiran otentik hanya terbatas pada pengertian, maksud dan kehendak yang tertuang di dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan penafsiran historis melihat juga latar belakang pandangan-pandangan yang di sampaikan pada saat pembuatan peraturan perundang-undangan

· Penafsiran sosiologis yaitu penafsiran yang berangkat dari pemikiran bahwa peraturan perundang-undangan tidak di maksudkan untuk mengatur masa lampau. peraturan perundang-undangan di buat untuk mengatur dan memecahkan masalah hokum di masa yang akan datang. Karena itu peraturan perundang-undangan harus di artikan sesuai dengan kebutuhan dan perubahan-perubahan social,ekonomi,budaya maupun politik.kenyataan yang hidup dalam masyarakat merupakan sumber penafsiran social memberikan keleluasaan untuk menyesuaikan arti perundang-undangan dengan kenyataan masyarakat bukan berarti dapat di lakukan tanpa batas.

Selain penafsiran atau metode lain sebagai upaya menerapkan hokum dalam situasi konkrit yang disebut dengan kontruksi yang dapat di bedakan bentuk berikut :

· Analogi

Bila hakim mungkin di hadapkan pada suatu perkara yang tidak mungkinm secara langsungyang berkaitan dengan kaidah hokum tertentu. Seperti hibah dan sewa menyewa.untuk memecahkan masalah tersebut hakim dapat melakukan kontruksi dalam bentuk analaog yaitu mencar persamaan antar keduanya.

· Penghalusan hokum

Penghalusan hokum merupakan kebalikan dari analog. Hakim dalam suatu perkara dengan sengaja tidak menerapkan UU tertentu, meskipun perkara itu nyata-nyata berkaitan dengan peraturan perundang-undangantersebut dengan alasan akan menimbulkan ketidak adilan atau tidak sesuai dengan kenyataan social yang berlaku. Penolakan hakim untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dengan alas an demi keadilan atau tidak sesuai dengan kenyataaan social.

· Argumentasi a contrario

Argumentasi a contrario dapat dilihat sebagai kebalikan dari analaog. Analaog memperluas jangkauan berlaku suatu peraturan perundang-undangan. Sedangkan Argumentasi a contrario mempersempit jangkauan berlakunya suatu peraturan perundang-undangan.

Dari uraian tentang penafsiran dan kontruksi hokum tersebut dapat di tarik ksimpulan bahwa :

pertama : untuk dapat menafsirkan, hakim tidak hanya cukup memahami penafsiran saja. Penafsiran memerlukan bebagai ilmu bantu seperti ilmu tata bahasa, sosiologi, sejarah dan lain-lain

kedua : hakim mempunyai kebebasan dalam untuk memilih bentuk penafsiran atau kontruksi asal dilakukan dengan pengetahuan yang cukup dan sesuai dengan kasus-kasus yang di hadapi demi mewujudkan keadilan bagi yang berperkara maupun masyarakat.

Selain pengetahuan sumber hokum dan penafsiran , masih terdapat berbagai aspek lain yang perlu di kenal dengan baik oleh hakim untuk sampai pada putusan yang baik, di samping itu hakim harus memiliki pengetahuan dalam ilmu-ilmu bantu yang akan lebih menjamin lahirnya putusan yang baik dan bermutu

· Kedudukan dan Peranan Ijtihad hakim agama dalam konteks UU

Peran merupakan limpahan dari fungsi dan kewenangan. Oleh karena itu, membicarakan tentang peran bararti juga membicarakan tentang fungsi dan kewenangan sesuai dengan batasan-batasan kewenangan yang disebutkan oleh undang-undang. Dalam membicarakan peran hakim dalam menjalankan fungsi dan wewenang peradilan hendaknya harus dititikberatkan pada pada tujuan dan tafsiran filosofis yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran, bukan menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit dan sekedar menjadi mulut undang-undang dan sekedar berperan sebagai makhluk yang tidak bernyawa.hakim tidak boleh berperan mengindentikkan kebenaran dan keadilan sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan sebab tidak semua yang sesuai dengan hukum itu keadilan.

Sehubung dengan hal tersebut, hakim peradilan agama harus mampu berperan menafsirkan undang-undang secara aktual agar hukum-hukum baru tersebut dapat di terapkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat. Selain itu hakim agama harus mampu berperan agar hukum yang diterapkan itu sesuai dengan kepentingan umum dan dan kemaslahatan masyarakat masa kini. Peran hakim agama tidak boleh reaktif terhadap pembaruan dan kemaslahatan masyarakat. Dalam setiap peran hakim agama dalam menafsirkan undang-undang untuk mencari hukum baru, tidak boleh lepas dari prinsip dasar syari’at islam, falsafah bangsa dan tujuan peraturan perundang-undangan lahir.

Belum jelas dan masih harus di adakan penafsiran apabila di aplikasikan untuk di jadikan hukum secara konkrit. Apabila hal tersebut terjadi maka hakim masih harus berijtihad untuk menemukan hukum baru guna di terapkan pada kasus-kasus tertentu yang di hadapinya sehiongga tidak terjadi kekosongan hukum. Dalam menciptakan hukum baru tersebut, para hakim harus memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat. Selain harus memperhatikan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sehingga yang di ciptakan di hargai dan di patuhi oleh pencari keadilan khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Undang-undang tentang nomer 14 tahun 1970 tentang pokok kekuasaan kehakimanyang telah di ubah dengan Undang-undang nomer 4 tahun 2004 menetukan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Hakim agama harus berani menciptakan hukum baru juka diketahui pasal-pasal dalam hukum positif yang bertentangan dengan ketertiban kepentingan umum dan kemaslahatan manusia.hakim juga harus berani menciptakan hukum baru apbila ada masalah yang di hadapi belum ada hukumnya yang di atur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apbila hal ini terjadi maka hakim harus melakukan ijtihad untuk menciptakana hukum baru.

Hakim peradilan agama dalam melaksanakan ijtihad untuk memperoleh hukum baru, sama sekali tidak boleh menyimpang dari maqashidusyari’ahyaitu menciptakan kemaslahatan di dunia dan akhirat. Menurut fatah al-daraini hukum-hukum itu tidak;lah di buat untuk hukum itu sendiri, melainkan untuk di buat untuk tujuan lain yaitu kemaslahatan. Tidak satupun hukum di syariatkan dalam syari’at islam,malainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan untuk manusia. Maqasidusyariah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukumyang tdak di temukan secara jelas dimensi kemaslahatanya, dapoat di analsis melaui maqasidusyariah yang di liaht dari ruh syariah dan tujuan umum dari ajaran agama islam yang hanif. Menurut taufiq, agar ijtihad hakim tidak lepas dari maqasidusyriah maka hakim hendaklah orang yang jujur,mempunyai prinsip yang teguh.bebas dari pihak lain, dan mempunyai kemampuan profisional. Untuk melakukan ijtihad dalam berbagi masalah hukum yang belum di atur hukumnya dengan menciptakan hukum yang baru.

BAB III

PENUTUP

· Kesimpulan

Dari paparan diatas dapat ditarik benang merah bahwa seorang hakim harus memiliki moralitas yang tinggi dan memiliki tanggung jawab intelektual dalam mengemban tugas mulianya yang sarat resiko dan tantangan. Jika seorang hakim memiliki intelektualitas dan moralitas yang tinggi maka ia akan menyadari bahwa tugasnya menjadi hakim bukan sebagai abdi negara semata, tetapi memiliki tanggung jawab moral sebagai tugas keagamaan yang di dalamnya terdapat masalah pahala dan dosa. Jika hal ini dapat direalisasikan maka tindakan “pelecehan hukum” akan dapat diminimalisir dan upaya “penegakan supremasi hukum” akan dapat direalisir.

Dan juga peran hakim pereadialn agama sangat besar dalam dalam melaksanakan pembaharuan hukum di Indonesia. Hakim agama juga tidak hanya sekedar menerapkan hukum tertulis yang ada terhadap kasus-kasus yang dihadapinya tetapi juga di bebani dengan tugas mengali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hakim dapat berperan dalam pembaharuan hukum islam dengan baik jika ijtihad yang di lakukan itu di tempatkan secara proorsional dalam rangka tajdid agar hukum tetap eksis.

Hasil ijtihad hakim agama dalam bentuk hukum baru terhadap suatu masalah yang belum ada aturan hukumnya dalam hukum positif dapat dilihat dalam beberapa putusan penagadilan agama. Dari putusan-putusan hakim agama tersebut dapat di ketahui bahwa peradilan agama sudah berperan aktif dalam melaksanakan pembaharuan hukum islam di Indonesia. Terhadap hal ini di benarkan oleh hakim peradilan agama yang menyatakan pandangannya bahwa sejak tiga puluh tahun terakhir ini sudah terjadi perubahan hukum islam melalui putusan peradilan agama.

DAFTAR PUSTAKA

Madkur Salam Muhammad, Peradilan Dalam Islam, Alih Bahasa Imron AM.1993.Surabaya: Bina Ilmu

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam II.1994. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Dirjen Binbaga Islam, Pedoman Pengawasan Peradilan Agama.1986.Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama.

Manan Abdul, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia.2006.Jakarta:PT Rajagrafindo Persada. Manan Bagir, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia.1997.bandung: PT Alumni,1997y

0 Responses