Konstitusionalisasi Hukum Islam

1. Sejarah Konstitusi
Secara etimologis antara kata “ konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme” inti maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (undang-undang dasar, dsb) atau undang-undang dasar negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarati tindakan (kebijakan) tersebut adalah tindak konsitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Dalam berbagai literatur hokum tata Negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri dari :
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3. Peradilan yang bebas dan mandiri.
4. Pertanggung jawaban kepada rakyat (akuntabilitas public) sebagai sendi
utama dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan mascot bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintah (Negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip diatas, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai Negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.
Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah disusun melalui dan oleh hokum, yaitu sejak zaman sejarah Yunani dimana mereka telah mengenal beberapa kumpulan hokum (semacam kitab hokum). Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 SM) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Koleksi Aristoteles sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai Negara.
Pemahaman awal tentang konstitusi pada masa itu, hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata. Kemudian pada masa kekaisaran Roma, pengertian constitutionnes memperoleh tambahan arti sebagai suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar atau para preator. Termasuk didalamnya pernyataan-pernyataan pendapat dari para ahli hokum/negarawan serta adapt kebiasaan setempat disamping undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan. Dimana konsep tentang kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para kaisar Roma telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di Perancis, bahkan kegandrungan orang Romawi akan ordo et unitas telah memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham : “Demokrasi perwakilan” dan “Nasionalisme”. Dua paham inilah cikal bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.
Pada abad VII (zaman klasik) lahirlah piagam/konstitusi madinah. Piagam Madinah adalah konstitusi Negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik islam, tepatnya sekitar tahun 622 M.
Di Eropa Kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu ditandai dengan semakin kokohnya absolutisme, khususnya di Perancis, Rusia, Prusia, dan Austria pada abad ke-15. Gejala ini dimahkotai oleh ucapan L’Etat C’est moi-nya Louis XIV (1638-1715) dari Perancis.
Lain halnya dengan di Inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat kemenangan dan sebagai puncak kemenangannya ditandai dengan pecahnya The Glorious Revolution (1688). Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini telah menyebabkan berakhirnya absolutisme di Inggris serta munculnya parlemen sebagai pemegang kedaulatan. Pada akhirnya, 12 negara koloni Inggris mengeluarkan Declarations of Independence dan menetapkan konstitusi-konstitusinya sebagai dasar Negara yang berdaulat yaitu tepatnya pada tahun 1776. Deklarasi ini merupakan bentuk konkritisasi dari berbagai teori perjanjian.
Pada tahun 1789 meletus revolusi dalam Monarchi Absolutisme di Perancis yang ditandai dengan ketegangan-ketegangan di masyarakat dan terganggunya stabilitas keamanan Negara. Sampai pada akhirnya, 20 Jni 1789 Estats Geneaux memproklamirkan dirinya Constituante, walaupun baru pada tanggal 14 September 1791 konstitusi pertama di Eropa diterima oleh Louis XVI. Sejak itu, sebagian besar dari Negara-negara di dunia, baik monarchi maupun republic, Negara kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan atas suatu konstitusi.
Di Perancis muncul sebuah buku yang berjudul Du Contract Social karya J.J Rousseau. Dalam buku ini Rousseau mengatakan “manusia lahir bebas dan sederajat dalam hak-haknya”, sedangkan hokum merupakan ekspresi dari kehendak umum (rakyat). Tesis Rousseau ini sangat menjiwai De Declaration des Droit de I’Homme et du Citoyen, karena deklarasi inilah yang mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis (1791) khususnya yang menyangkut hak-hak asasi manusia. Pada masa inilah awal dari konkritisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern) seperti yang ada di Amerika.
Konstitusi model Amerika (yang tertulis) ini kemudian diikuti oleh berbagai konstitusi tertulis di berbagai Negara di Eropa. Seperti konstitusi Spanyol (1812), konstitusi di Norwegia (1814), konstitusi di Nederland (1815), konstitusi di Belgia (1831), konstitusi di Italia (1848), konstitusi di Austria (1861), dan konstitusi di Swedia (1866). Sampai pada abad XIX, tinggal Inggris, Hongaria dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara tertulis.
Pengaruh Perang Dunia II terhadap konstitusionalisme politik jauh lebih parah dibandingkan pada masa Perang Dunia I. Sebab kemenangan dari bangsa-bangsa yang berserikat terhadap kekuatan tirani saat itu. Berarti Perang Dunia II telah memberikan kesempatan kedua kalinya kepada bangsa-bangsa untuk menerapkan metode-metode konstitusionalisme terhadap bangunan internasional melalui Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mencapai perdamaian dunia yang permanent. Akankah kesempatan ketiga memberikan pekerjaan baru kepada bangsa-bangsa untuk merekonstruksi model Negara konstitusionalisme baru pada era post-modernisme.
2. Pengertian Konstitusi dan Hukum Islam
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara.
Sedangkan istilah undang-undang dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam bahasa Belandanya Gronwet. Perkataan Wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan Grond berarti tanah / dasar.
Di Negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. Pengertian konstitusi dalam praktek dapat berarti lebih luas dari pada pengertian undang-undang dasar, bagi para sarjana ilmu politik istilah constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama dengan..”, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan / menetapkan”.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa konstitusi adalah:
1. Suatu kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan
kepada para penguasa.
2. Suatu dokumen tentang pembagian tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu
system politik
3. Suatu deskripsi dari lembaga-lembaga Negara
4. Suatu deskripsi yang menyangkut masalah hak-hak asasi manusia
Kata hokum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu ح ك م yang mendapat imbuhan ا dan لsehingga menjadi (الحكم) bentuk masdar dari (يحكم,حكم). Selain itu merupakan bentuk mufrad dan bentuk jamaknya adalahالأحكم .


Berdasarkan akar kata tersebut, melahirkan kata الحكمة artinya kebijaksanaan. Maksudnya, orang yang memahami hokum lalu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-harinya dianggap sebagai orang bijaksana. Selain itu, akar kata ح ك م dapat melahirkan kata الحكمة artinya kendali atau kekangan kuda, yaitu hokum dapat mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang sebenarnya dilarang oleh agama.
Hokum islam merupakan istilah khas di Indonesia, sebagaimana terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al-islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hokum barat disebut Islamic Law. Dalam Al-Qur’an dan sunnah, istilah al-hukm al-islam tidak ditemukan. Sebab, kajiannya dalam perspektif hokum islam, maka yang dimaksudkan pula adalah hokum syara’ yang bertalian dengan perbuatan manusia dalam ilmu fiqh, bukan hokum yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hokum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syariat islam atau fiqh islam. Apabila syariat islam diterjemahkan sebagai hokum islam (hokum in abstracto), maka berarti syariat islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Karena kajian syariat islam meliputi aspek I’tiqadiyah, khuluqiyah, dan ‘amal syar’iyah. Sebaliknya bila hokum islam menjadi terjemahan dari fiqh islam, maka hokum islam termasuk bidang kajian ijtihadi yang bersifat dzanni.
Pada dimensi lain penyebutan hokum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu Negara, baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang belum. Kalau demikian adanya, kedudukan fiqh islam bukan lagi sebagai hokum islam in abstracto (pada tawaran fatwa atau doktrin) melainkan sudah menjadi hokum islam in concreto (pada tataran aplikasi atau pembumian). Sebab, secara formal sudah dinyatakan berlaku sebagai hokum positif, yaitu aturan yang mengikat dalam suatu Negara.
Menurut T.M. Hasbi Ashshiddiqy sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Rofiq, mendefinisikan hokum islam adalah koleksi daya upay aahli hokum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam khazanah ilmu hokum islam di Indonesia, istilah hokum islam dipahami sebagai penggabungan dua kata, hokum dan islam. Hokum adalah seperangkat peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Kemudian kata hokum disandarkan kepada kata islam. Jadi, dapat dipahami bahwa hokum islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasar wahyu Allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam (Ahmad Rofiq,1997; 8).
3. Sejarah Konstitusionalisasi Hukum Islam pada awal Kemerdekaan
Indonesia 1945
a. UNDANG-UNDANG DASAR 1945
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi Negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintah balatentara Jepang yang diberi nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan parlemen (Diet) untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia . Namun, setelah pembentukannya, badan ini tidakhanya melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka.
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, serta Itibangase Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai Wakil Ketua. Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, focus pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini terlihat selama masa persidangan pertama, pembicaraan tertuju pada soal ‘philosofische grondslag’, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945.
Dalam masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas 19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri atas Wongsonegoro, R.Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil berhasil menyelesaikan tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang-Undang Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI berhasil menyelesaikan tugasnya, Pemerintah Balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua. Panitia ini sedianya akan dilantik resmi pada tanggal 18 Agustus1945, dan direncanakan setelah pelantikan langsung akan diadakan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di gedung Komonfu PejambonNo.2, dengan susunan acara (I) Menetapkan Undang-Undang Dasar,(II) Memilih Presiden dan Wakil Presiden, dan (III) Dan lain-lain.
Setelah mendengarkan laporan hasil kerja BPUPKI yang telahmenyelesaikan naskah rancangan Undang-Undang Dasar, pada sidangPPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota masih inginmengajukan usul-usul perbaikan disana-sini terhadap rancangan yang telah dihasilkan, tetapi akhirnya dengan aklamasi rancanganUUD itu secara resmi disahkan menjadi Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia. Di tengah pembahasan materi Undang- Undang Dasar ini, setelah istirahat pertama, dan sidang dibuka lagi pada pukul 15.15 – 16.12 WIB, Soekarno selaku Ketua berkata:
“Menurut acara, tuan-tuan sekalian, maka kita akan membicarakan aturan-aturan peralihan, tetapi oleh karena pers menunggu suatu hal yaitu ketentuan siapa yang dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Negara Indonesia, maka lebih dahulu daripada aturan peralihan akan saya bicarakan Pasal 3”.”… Sekarang untuk memenuhi permintaan pers, lebih dahulu saya hendak masuk ke dalam acara pemilihan Kepala Negara dan Wakilnya, tetapi lebih dahulu saya minta disahkan Pasal III dalam aturan peralihan, yang tuan-tuan sekalian memegangnya: ‘Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia’, yaitu kita ini. Bagaimana tuan-tuan setuju? Kalau setuju, maka sekarang saya masuk acara pemilihan Presiden. Saya minta Zimukyoku membagikan stembiljet.”
Namun, belum sempat pembagian stembiljet itu dilakukan, atas usul yang disampaikan secara terbuka oleh Oto Iskandardinata supaya Bung Karno dan Bung Hatta disepakati menjadi Presiden dan Wakil Presiden, langsung mendapat tanggapan positif dari seluruh hadirin sambil meneriakkan yel-yel “Hidup Bung Karno!!”, “Hidup Bung Hatta!!” dan dilanjutkan menyanyikan lagu “Indonesia Raya” secara bersama-sama, maka resmilah Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, dimulai sejak tanggal 18 Agustus 1945 itu. Setelah itu, barulah pembahasan dilanjutkan mengenai materi Undang-Undang Dasar sampai selesai dan kemudian disahkan resmi menjadi Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia.
Namun demikian, setelah resmi disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. UUD 1945 memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang menurut istilah Bung Karno sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal ini dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”. Adanya ketentuan Pasal III Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa UUD Negara Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi. Akan tetapi, sampai UUD 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada berdasarkan UUD 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H., sebagai seorang guru besar hokum tata negara yang dikenal sangat kritis, terus menerus menyampaikan pendapatnya bahwa UUD 1945 harus lebih dulu ditetapkan menurut ketentuan Pasal 3 UUD 1945, barulah kemudian diubah sesuai ketentuan Pasal 37.
Di dunia akademis, pandangan seperti yang diajukan oleh Prof. Dr. Harun Alrasid, bukanlah barang baru. Akan tetapi yang penting disadari adalah bahwa keberadaan UUD 1945 itu sesungguhnya memang bersifat sementara dan dimaksudkan sebagai UUD untuk sementara waktu saja. Semangat demikian mewarnai sikap dan pandangan ‘the founding fathers’ sendiri mengenai naskah UUD 1945. Karena semangat demikian itu, ditambah pula oleh kenyataan sebagai negara yang baru merdeka, masih harus melakukan banyak hal yang tidak sepenuhnya dapat diikat oleh aturan-aturan konstitusional yang ketat, maka UUD 1945 memang tidak selalu dijadikan referensi. Misalnya, menurut ketentuan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensiil. Atas dasar itu, maka pada tanggal 2 September 1945 dibentuklah susunan kabinet pertama di bawah tanggung jawab Presiden Soekarno. Akan tetapi, baru dua bulan setelah itu, yaitu tepatnya pada tanggal 14 November 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat yang berisi perubahan system kabinet dari sistem presidensiil (pen: quasi presidensiil) ke system parlementer.
Sehubungan dengan itu, pemerintah menetapkan kebijakan untuk membentuk kabinet parlementer pertama di bawah Perdana Menteri Syahrir. Padahal, seperti dikemukakan di atas, UUD 1945 menentukan sistem pemerintahan presidensiil, tidak mengatur adanya sistem pemerintahan kabinet parlementer sama sekali. Dengan perkataan lain, periode 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember1949, meskipun UUD 1945 secara formil berlaku sebagai konstitusi resmi, tetapi nilainya hanya bersifat nominal, yaitu baru di atas kertas saja. Keadaan demikian terus berlangsung sampai tahun 1949 ketika dibentuknya Republik Indonesia Serikat.
b. KONSTITUSI RIS 1949
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir dengan kemenangan di pihak Tentara Sekutu dan kekalahan di pihak Jepang, maka kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air Indonesia dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun, usaha Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah karena mendapat perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena itu, Pemerintah Belanda menerapkan politik adu domba dengan cara mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah nusantara, seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan negara-negara yang terpecah-pecah itu diharapkan pengaruh kekuasaan Republik Indonesia di bawah kendali pemerintah hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan dengan hal itu, Tentara Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, maka atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November 1949 diadakan Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den Haag. Konperensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst voor Federal Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konperensi Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu:
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu (a) piagam
penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RIS; (b)
status uni; dan (c) persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
Naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan delegasi BFO ke Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut. Rancangan UUD itu disepakati bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang-Undang Dasar yang kemudian dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan kepada Komite Nasional Pusat sebagai lembaga perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan kemudian resmi mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14 Desember 1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan Berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS Tahun 1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara federal Republik Indonesia Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS, Republik Indonesia diakui sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah Republik Indonesia Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949, tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap berlaku UUD 1945. Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa berlakunya Konstitusi RIS, yaitu tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950 Resmi diberlakukan.
Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah representatif. Karena itu, dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini, jelas sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu hanyalah bersifat sementara saja.


c. UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950
Bentuk negara federal nampaknya memang mengandung banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun gagasan bentuk negara federal mungkin saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi karena terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda itu maka ide feodalisme menjadi tidak populer. Apalagi, Sebagai negara yang baru terbentuk, pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara federal.
Karena itu, bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah negara bagian, yaitu Negara Republilk Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur menggabungkan diri menjadi satu wilayah Republik Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam rangka persiapan ke arah itu, maka untuk keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar, dibentuklah suatu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai, rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus, 1950, yaitu dengan ditetapkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134 yang mengharuskan Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi dua pasal. Pertama berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang diresmikan di kota Bandung pada tanggal 10 November 1956.
Sayangnya, Majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai Berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang dipertahankannya di negeri Belanda, Konstituante ketika itu sedang reses, dan karena itu tidak dapat dikatakan gagal sehingga dijadikan alasan oleh Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 itu telah menjadi kenyataan sejarah dan kekuatannya telah memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.

Memang kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Profesor Djoko Soetono memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden yang diberi baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip ‘staatsnoodrecht’. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, prinsip ‘staatsnoodrecht’ Itu pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja menggambarkan pendirian MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965 adalah masa Orde Lama yang dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan asumsi bahwa perubahan drastic Perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas dari kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD sementara. Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin lama makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945 mengalami proses sakralisasi yang irrasional selama kurun masa Orde Baru itu. UUD 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD 1945 itu jelas merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan belum pernah dipergunakan atau diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan untuk menerapkan UUD 1945 itu secara relatif lebih murni dan konsekuen hanyalah di masa Orde baru selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara dalam kekuasaan yang dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak rasional. Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen, apalagi jika UUD 1945 dilaksanakan tidak cukup murni dan tidak cukup konsekuen.
4. Konstitusonalisasi hukum islam pada saat ini ( Inpres No.1 Tahun 1991 tentang KHI)
Kedudukan hokum islam dalam ketatanegaraan Indonesia harus dibagi dalam dua periode:
a. Periode penerimaan hokum islam sebagai sumber persuasif
b. Periode penerimaan hokum islam sebagai sumber otoritatif
Dalam hukum konstitusi dikenal persuasive source dan authoritative source. Sumber persuasif ialah sumber yang orang harus diyakinkan untuk menerimanya sedang sumber otoritatif ialah sumber yang mempunyai kekuatan (authority).
Dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945, Wet op de Staat inrichting van Nederlands Indie (LS) tidak berlaku lagi. Dengan demikian, teori resepsi kehilangan dasar hukumnya.
Dengan berlakunya UUD 1945 yang Aturan Peralihan pasal II-nya menetapkan “segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” tidak dengan sendirinya Pasal 134 ayat (2) I.S. itu tetap berlaku, karena dasar hukum yang ditetapkan oleh suatu Undang Undang Dasar yang tidak berlaku lagi tidak dapat dijadikan dasar hukum bagi suatu Undang-Undang Dasar baru yang sama sekali tidak mengatur soal itu.
Setelah berlaku UUD 1945, Hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam karena kedudukan Hukum Islam itu sendiri, bukan karena ia telah diterima oleh Hukum Adat. Pasal 29 UUD 1945 mengenai agama menetapkan :
1. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.
Selama 14 tahun dari tanggal 22 Juni 1945 (waktu ditandatanganinya gentlement agreement antara pemimpin nasionalis dan pemimpin Islam sampai tanggal 5 Juli 1959, sebelum Dekrit Presiden diundangkan), kedudukan hukum ketentuan “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya adalah persuasive source. Sebagaimana semua hasi sidang-sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia adalah sumber persuasif bagi penafsiran UUD 1945, maka Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia juga merupakan sumber persuasive dari UUD 1945.
Penerimaan sumber hokum islam sebagai sumber Otoritatif
Barulah dengan ditetapkannya Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959, penerimaan Hukum Islam telah menjadi sumber otoritatif (authoritative source) dalam hukum tata Negara Indonesia, bukan sekedar sumber persuasif (persuasive source).
Untuk mengetahui dasar hukum Piagam Jakarta dalam konsiderans Dekrit 5 Juli 1959, perlu dipelajari dasar hukum pembukaan atau preambule dalam suatu konstitusi dan konsiderans atau pertimbangan dari suatu perundang-undangan.
Sebagaimana kita ketahui, Piagam Jakarta itu semula merupakan pembukaan dari rencana UUD 1945 yang dibuat oleh Badan Penyelidik Kemerdekaan Indonesia, kemudian dalam konsiderans Dekrit presiden RI ditetapkan:
“Bahwa kami berkeyakinan piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai undang-undang dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”.
Menurut hukum tata negara Indonesia, preambule atau konsideran , bahkan penjelasan peraturan perundangan, mempunyai kedudukan hukum. Preambule dan penjelasan UUD adalah rangkaian kesatuan dari suatu konstitusi. Begitu pula konsiderans dan penjelasan peraturan perundang-undangan adalah bagian integral dari suatu peraturan perundangan. Pendapat di atas itu, sebelum adanya UU No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, semata-mata merupakan pendapat saya sebagai Sarjana Hukum. Dengan penjelasan pasal demi pasal dari pasal 3 UU No.3 tahun 1975 dijelaskan:
“(1) Yang dimaksud dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam huruf a pasal
ini meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya”.
Dengan demikian, maka preambule atau konsiderans dan penjelasan dari UUD 1945 dan peraturan perundangan seperti Dekrit itu mempunyai kekuatan hukum.
Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959 itu, selain merupakan Piagam Jakarta di konsiderannya, diktumnya “menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi”. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta (dalam konsideran) dan dasar hukum Undang-Undang Dasar 1945 (dalam diktum) ditetapkan dalam satu peraturan perundang-undangan yang dinamakan Dekrit Presiden. Keduanya menurut hukum tata negara Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama.
Dengan demikian Presiden RI berkeyakinan, (jadi bukan hanya Ir.Soekarno pribadi), bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut. Karena perbedaan Piagam Jakarta dengan Pembukaan UUD 1945 hanyalah tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, maka berarti bahwa ketujuh kata itulah yang menjiwai UUD 1945 dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945 itu.
Kata “menjiwai” secara negatif berarti tidak boleh dibuat peraturan perundangan dalam negara RI yang bertentangan dengan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dan secara positif berarti bahwa pemeluk-pemeluk Islam diwajibkan menjalankan syariat Islam. Untuk itu harus dibuat Undang-undang yang akan memberlakukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional. Pendapat ini sesuai dengan keterangan Perdana Menteri Djuanda pada tahun 1959 :
“Pengakuan adanya Piagam Jakarta sebagai dokumen historis bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jadi pengakuan tersebut tidak mengenai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 Undang Undang Dasar 1945, pasal mana selanjutnya harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan”
Di bidang jurisprudensi dengan Keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang Hukum Waris Nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat bahwa di bidang hukum waris, Hukum Waris Nasional yang bilateral lebih mendekati Hukum Islam dari Hukum Adat.
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Politik hukum memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya oleh Pemerintah Orde Baru dibuktikan dengan Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 UU itu mengundangkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya ” Pasal 63 UU Perkawinan mengundangkan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang lainnya.
Dengan UU NO.1/1974 Pemerintah dan DPR memberlakukan Hukum Islam bagi pemeluk-pemeluk Islam dan menegaskan Pengadilan Agama berlaku bagi mereka yang beragama Islam.
UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pasal 2 Undang-undang tentang Peradilan Agama mengundangkan : “Peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.” Sedangkan, pasal 49 mengundangkan kekuasaan pengadilan dengan : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ; (a) Perkawinan; (b) Kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasar Hukum Islam; dan (c) wakaf dan shadaqah.
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Pada 10 Juni 1991 Presiden Republik Indonesia menandatangani Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991. Dalam konsideran “Menimbang” pada Inpres tersebut, ditetapkan :


a. Bahwa para alim ulama Indonesia dalam lokakarya yang diadakan di Jakarta
pada 2 s/d 5 Februari 1998 telah menerima baik rancangan buku Kompilasi
Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang
Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Perwakafan.
b. Bahwa komplikasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) oleh instansi
pemerintah dan masyarakat yang memerlukan dapat digunakan sebagai
pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam bidang tersebut.
c. Bahwa oleh karena itu Kompilasi Hukum Islam tersebut dalam huruf (a) perlu
disebarluaskan.
Dalam konsideran “Mengingat”, sebagai dasar dari Inpres itu, disebutkan “Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945”. Kemudian diktum menyebutkan :
“Menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk; Pertama: menyebarluaskan kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari :
a. Buku I tentang Hukum Perkawinan
b. Buku II tentang Hukum Kewarisan
c. Buku III tentang Hukum Perwakafan sebagaimana telah diterima baik oleh
alim ulama Indonesia dalam lokakarya di Jakarta pada 2 s/dd 5 Februari 1988,
untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang
memerlukannya.
Oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan Undang-Undang yang berlaku adalah Hukum Islam (pasal 49 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama), maka kompilasi Hukum Islam yang memuat hukum materiilnya itu dapat ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi Presiden.
UU No.35 Tentang Perubahan Atas UU No.14 /1970 Tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Untuk melaksanakan Kebijakan Reformasi Pembangunan dalam pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif, diundangkan UU No.35 Tahun 1999, tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut :

Pasal 11
1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1),
secara organisatoris, administrative dan finansial berada di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung
2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur
lebih lanjut dengan Undang-Undang sesuai dengan kekhususan lingkungan
peradilan masing-masing.
Di antara Pasal 11 dan 12 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 11A
1) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 (lima)
tahun sejak Undang-undang ini berlaku.
2) Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama
waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3) Ketentuan mengenai tatacara pengalihan secara bertahap sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 1 ayat (2)b bagi Peradilan Agama dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Menurut Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 1 angka 2 ayat (2) selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Departemen Agama.
UU No.44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh
Menurut pasal 1 UU ini, dalam UNdang-undang ini yang dimaksud :
“Keistimewaan adalah kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam penetapan Kebijakan Daerah.”


Pasal 4 mengenai Penyelenggaraan Kehidupan Beragama mengundangkan :
1) Kehidupan beragama di Daerah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan
syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat
2) Daerah mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan
beragama, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dengan tetap menjaga
kerukunan hidup antar umat beragama
Penjelasan pasal demi pasal, Pasal 4 ayat (2): “yang dimaksud dengan mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan umat beragama adalah mengupayakan dan membuat kebijakan Daerah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT .
Di samping itu, pemeluk agama lain dijamin untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing.
5. Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia.
Kehadiran Kompilasi Hukum Islam merupakan rangkaian sejarah hukum nasional yang dapat menggambarkan ragam makna kehidupan masyarakat muslim di Indonesia, terutama tentang :
1. Adanya norma hukum yang hidup dan ikut serta bahkan mengatur interaksi
sosial.
2. Aktualnya dimensi normative akibat terjadinya eksplanasi fungsional ajaran
islam yang mendorong terpenuhinya tuntutan kebutuhan hokum.
3. Responsi structural yang dini melahirkan rangsangan KHI.
4. Alim ulama Indonesia mengantisipasi ketiga hal diatas dengan kesepakatan
bahwa KHI adalah rumusan tertulis hukum islam yang hidup seiring dengan
kondisi hukum dan masyarakat Indonesia.
KHI yang hadir dalam instrument hukum instruksi presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991 menunjukkan fenomena tata hukum yang dilematis, di satu sisi pengalaman implementasi program legislative nasional memperlihatkan Inpres mempunyai kemampuan untuk mandiri dan efektif di samping instrument hukum lainnya. Dan di sisi yang lain Inpres tidak terlihat sebagai slah satu instrument dalam tata urutan peraturan perundangan. Selain itu dalam masyarakat masih dijumpai kelompok masyarakat islam yang menempatkan hukum islam yang tertulis dalam kitab-kitab fiqh sebagai sesuatu yang sacral akibat kedudukannya sebagai bagian dari ajaran islam.
Dari segi tata hukum nasional, KHI dihadapkan pada dua pandangan:
1. Sebagai hukum tidak tertulis, seperti penggunaan instrument hukum berupa Inpres yang tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan peraturan perundangan yang menjadi sumber hukum tertulis. Kelemahan pandangan ini terletak pada pengabdian terhadap beberapa sumber pengambilan bagi penyusunanbuku I dan III KHI yang terdiri dari UU No. 22 Tahun 1946 jo UU No.32 Tahun 1954, UU No.1 Tahun 1974 jo PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 28 Tahun 1977. Sumber-sumber hukum tersebut yang justru mengakrabkan KHI menjadi hukum tertulis.
2. KHI dapat di kategorikan sebagai hukum tertulis. sumber yang di tunjukkan diatas menunjukkan KHI berisi Law dan Rule yang pada gilirannya terangkat menjadi Law dengan potensi Political power.
















DAFTAR PUSTAKA

Thaib, Dahlan. 2001. Teori dan Hukum Konstitusi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)

http://by110504.blog.friendster.com/2008/01/apakah-konstitusi-itu/

Ali, Zainuddin. 2006. HUKUM ISLAM Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:Sinar Grafika)

Asshiddiqie, Jimly.2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta:Konstitusi Press)

http://arfanhy.blogspot.com/2008/09/kedudukan-hukum-islam-setelah-amandemen.html

http://syarifuddin.blogspot.com/
0 Responses