Optimalisasi Pengadilan Agama sebagai Peradilan Keluarga

Optimalisasi Pengadilan Agama sebagai Peradilan Keluarga
Pengadilan merupakan suatu lembaga (institusi) tempat mengadili atau menyelesaikan sengketa hukum dalam rangka kekuasaan kehakiman, yang mempunyai wewenang absolut dan relative sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan atau membentuknya.
Peradilan bertugas menampakkan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan menetapkan sesuatu hukum. Karena hukum itu sebenarnya telah ada dalam hal yang dihadapi hakim. Bahkan jika dibandingkan dengan hukum umum, maka hukum Islam (syariat) telah ada sebelum manusia ada. Sedangkan hukum umum baru ada setelah manusia ada. Peradilan menurut Ibnu Abidin berarti menyelesaikan suatu sengketa dengan hukum Allah.
Optimalisasi adalah suatu upaya untuk mengoptimalkan atau memfungsikan. Jadi optimalisasi pengadilan agama sebagai peradilan keluarga adalah suatu upaya untuk memfungsikan pengadilan agama sebagai tempat yang dapat mengarahkan masyarakat sebagai peradilan keluarga.
Untuk itu pengadilan agama haruslah memiliki fasilitas-fasilitas seperti ruangan dan peralatan yang setidaknya dapat difungsikan sebagai mestinya. Dasar dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu:
• Bahwa penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib
• Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam.
• Syari’ah selain Islam adalah kufur dan batil (taghut).
Hukum keluarga ialah seperangkat kaidah undang-undang yang mengatur hubungan personal keluarga dalam konteksnya yang khusus (spesifik) dalam hubungan hukum suatu keluarga.
Maksudnya, bukan hukum yang mengatur hubungan antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain dan bukan pula hukum yang mengatur hubungan hukum di luar hal-hal yang telah menjadi bagian dari hukum keluarga sekalipun hubungan hukum itu melibatkan sesama anggota keluarga dan masih dalam sebuah keluarga.
Sebagai contoh, jual beli yang dilakukan oleh seorang ayah atau ibu dengan anaknya, atau jual beli motor antara seorang kakak dengan seorang adiknya dalam satu rumah tangga, sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai hukum keluarga karena transaksi jual beli dikategorikan ke dalam bidang hukum perdata umum dan tidak tergolong ke dalam bagian hukum keluarga (perdata khusus). Demikian pula hubungan antara keluarga A, misalnya, dengan keluarga B berkenaan dengan ihwal ketetanggaan dan lain-lain, juga termasuk ke dalam hukum keluarga meskipun menyebut-nyebut kata keluarga di dalamnya.
Sebagai institusi penegak hukum, Peradilan Agama harus kuat status dan kedudukannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada para pencari keadilan. Karenanya, yang lebih diutamakan dari reformsi Peradilan Agama, sesungguhnya adalah menyangkut status dan kedudukannya sebagai salah satu pelaksana dari struktur kekuasaan kehakiman.
Bila dilihat dari aspek struktur, status dan kedudukan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di era reformasi sudah kuat. Sehingga, tidak akan ada perdebatan lagi mengenai kehadirannya dalam sistem kekuasaan kehakiman Indonesia. Peradilan Agama adalah pranata konstitusional. Menjalankan Peradilan Agama menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional, yang penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Dan ini merupakan sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi.
Inilah perubahan signifikan yang terjadi pada Peradilan Agama di era reformasi. Statusnya sudah sangat kuat secara konstitusional, kedudukannya sudah sama dengan badan-badan peradilan lainnya, sehingga independensi dan kemandirian institusionalnya bisa meningkat, termasuk juga kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan. Salah satu indikator kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan adalah tingkat kepuasan (consumer satisfaction) pengguna/masyarakat terhadap Peradilan Agama.
Data tersebut menunjukan bahwa Peradilan Agama di mata masyarakat menjadi salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang terpercaya. Bukan saja karena pelayanan administrasinya, akan tetapi juga proses persidangan dan hasil putusan yang dibuat oleh hakim dapat memberikan rasa keadilan masyarakat. Berkaitan dengan ini, Colligan menyatakan bahwa, lahirnya putusan yang akurat memperlihatkan dipergunakannya nilai-nilai sebagai dasar dari putusan dan keluarnya putusan yang akurat tersebut juga terkait dengan dipakainya hukum pembuktian selama proses pemeriksan perkara di pengadilan. Karenanya, tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa pada masa reformasi --pasca disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung-- Peradilan Agama semakin mandiri dan independen.
Para pakar dan ahli hukum sejarah sepakat mengakui bahwa Peradilan Agama di Indonesia sudah ada sejak Islam masuk ke bumi Indonesia pada abad ke VII Masehi atau abad pertama hijriyah, hukum Islam berkembang bersama-sama dengan Hukum adat dengan erat sehingga satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan karena saling kait mengait. Adapun politik hukum Hindia Belanda yang berkembang kemudian adalah, adanya isu tentang terjadinya konflik antara hokum Islam dengan hokum adapt yang pada intinya konflik ini dengan sengaja dibesar-besarkan oleh para ahli hukum adat di Indonesia, seperti: B. Ter Haar, Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje.
Berdasarkan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam lembaga Peradilan Agama di Indonesia, penulis sampai pada satu temuan dan kesimpulan penting yaitu bahwa kokohnya keberadaan (existence) Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan sosial dan budaya (cultural), bukan oleh faktor politik hukum (legal structure) maupun faktor subtansi hukum (legal substance).
Bagi Peradilan Agama, kewenangan (absolute competence) dan wilayah yurisdiksi pengadilan (relative competence) merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan. Pembatasan pada dua kompetensi tersebut, meski tujuannya untuk kepentingan perlindungan hak-hak pencari keadilan, justeru membuat lembaga peradilan tidak memiliki posisi independen yang sempurna. Meskipun demikian, dalam sejarahnya justru kompetensi inilah yang menjadi penentu bagi eksistensi badan peradilan termasuk Peradilan Agama.
Kompetensi juga sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Sudah sejak sebelum kemerdekaan sesungguhnya hukum Islam telah berlaku di Indonesia, menjadi hukum yang hidup di masyarakat. Artinya, ketika hukum Islam dilaksanakan, maka segala persoalannya juga ditangani dan menjadi kompetensi Peradilan Agama. Akan tetapi, sejak munculnya teori receptie Christian Snouck Hurgronye.
Kewenangan Peradilan Agama dibatasi, tidak lagi menangani masalah waris karena dianggap belum menjadi hukum adat. Atas dasar keterpengaruhan dari teori ini, kompetensi Peradilan Agama hanya seputar perceraian, nafkah, talaq, dan rujuk.
Kewenangan Peradilan Agama di Indonesia, sesungguhnya sangat terkait erat dengan persoalan kehidupan umat Islam, karena ia menjadi sui generisnya. Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, maka kewenangan Peradilan Agama tidak menyangkut seluruh persoalan umat Islam, melainkan hanya terkait dengan persoalan hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah) ditambah sedikit persoalan muamalah. Kenyataan tersebut tidak bisa dipisahkan dari persoalan politik penguasa, meskipun untuk kewenangan relatif lebih ajeg dari pada status dan kedudukan yang sering mengalami pasang dan surut.
Pada tahun 1957, Pengadilan Agama terbentuk di beberapa daerah; Aceh, Kalimantan Selatan, dan sebagian Kalimantan Timur. Kewenangannya, selain menangani masalah perkawinan, juga masalah waris, waqaf, hibah, shadaqah, dan bahkan baitul mal. Eksistensi Peradilan Agama mendapat momentum kuat secara konstitusional ketika disahkannya UU No. 14 Tahun 1970. Dalam UU ini, Peradilan Agama secara eksplisit diakui sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Akan tetapi, tidak ada perubahan yurisdiksi atau kompetensi bagi Peradilan Agama. Karena itu, Peradilan Agama adalah peradilan nikah, talak, dan rujuk. Perubahan yurisdiksi mulai nampak dalam UU No. 1 Tahun 1974, yang meliputi perceraian, penentuan keabsahan anak, perwalian, penetapan asal usul anak, dan izin menikah.
Tidak sebatas itu, kewenangan Peradilan Agama juga bertambah ketika keluar Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, terutama Pasal 12. Bahkan, pada tahun 1989, kewenangan Peradilan Agama juga mendapatkan perluasan, tidak lagi sebatas masalah perkawinan, namun juga masalah kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah. Ketentuan tersebut dinyatakan dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Kemunculan UU ini tidak saja memberikan keleluasaan kewenangan, akan tetapi juga telah memberikan kemandirian kepada Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Karena, telah mempunyai hukum acara sendiri, dapat melaksanakan keputusannya sendiri, mempunyai jurusita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat berdasarkan UU.
Mencermati perjalanan kewenangan Peradilan Agama dari sebelum kemerdekaan sampai sebelum reformasi, ternyata pasang surut dan tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang terjadi. Namun, kewenangannya tetap, meskipun ada upaya penghapusan Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Bahkan, perkembangannya menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam konteks pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Ternyata, perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika social hukum masyarakat muslim, seperti teori pemberlakuan hukum Islam H.A.R. Gib.
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, tidak saja yang berlaku secara yuridis formal, yakni menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan (hukum positif), namun juga berlaku secara normatif. Keduanya telah menjadi hukum yang hidup (living law) di masyarakat, karena hukum Islam merupakan entitas agama yang dianut oleh mayoritas penduduk hingga saat ini, dan dalam dimensi amaliahnya di beberapa daerah ia telah menjadi bagian tradisi (adat) masyarakat yang terkadang dianggap sakral. Karenanya, secara sosiologis dan kultural, hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berurat berakar pada budaya masyarakat. Salah satu faktornya adalah karena fleksibilitas dan elastisitasnya. Artinya, kendatipun hukum Islam tergolong hukum yang otonom akan tetapi dalam tataran implementasinya ia sangat aplicable dan acceptable dengan berbagai jenis budaya lokal. Karena itu, bisa dipahami bila dalam sejarahnya di Indonesia ia menjadi kekuatan moral masyarakat (moral force of people) yang mampu vis a vis hukum positif negara, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Pada masa reformasi, perubahan signifikan menyangkut kewenangan Peradilan Agama, secara konstitusional diperolah melalui UU No. 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. UU ini bersifat diagnostik atau dalam istilah lain UU organik akibat adanya UU No. 4 Tahun 2004. Pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.” Dengan penegasan kewenangan ini, dimungkinkan menyelesaikan perkara kaitannya dengan persoalan pidana. Selain itu, supreme of competence Peradilan Agama diperolehnya kewenangan baru dibidang ekonomi syariah sebagaimana dinyatakan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 yakni; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syari’ah. Dengan demikian, titik penambahan kewenangan baru tersebut adalah; zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah.
Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim, sebagaimana dinyatakan Eugien Ehrlich bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat”. Ia juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern).
Atas dasar ini pula, DPR menambah kewenangan dalam bidang ekonomi syariah kepada Peradilan Agama. Karena itu, perluasan kewenangan Peradilan Agama dalam bidang ekonomi syariah adalah sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. David N. Schiff menyatakan “…hukum dan peraturan saling interelasi, terutama terlihat jelas dari adanya perubahan-perubahan sosial yang terjadi dengan sangat cepat, sehingga kepentingan individu dalam masyarakat harus diakomodasi dalam aturan-aturan hukum.” Ia juga menyatakan bahwa “…ada hubungan antara berbagai pola perilaku yang menjelma ke dalam bentuk hukum dengan perilaku nyata dari individu”.
Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologi hukum, maka tidak mengherankan jika pada era reformasi ini, Peradilan Agama mengalami perluasan kewenangan, mengingat “…harus ada kesinambungan yang simetris antara perkembangan masyarakat dengan pengaturan hukum, agar tidak ada gap antara persoalan (problem) dengan cara dan tempat penyelesaiannya (solving).” Dalam arti, perkembangan masyarakat yang meniscayakan munculnya permasalahan bisa diselesaikan melalui jalur hukum (legal), tidak dengan cara sendiri (illegal). Kecuali itu, perluasan kewenangan, juga sesuai dengan teori three elements law system Friedman, terutama tentang legal substance. Friedman menyatakan; legal substance adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sebuah sistem. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan, mencakup keputusan yang dikeluarkan, aturan baru yang disusun. Substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books.
Berdasarkan uraian teori tersebut, maka adanya perluasan beberapa kewenangan Peradilan Agama merupakan sebuah keniscayaan, mengingat semua yang menjadi wewenang Peradilan Agama, baik menyangkut tentang perkawinan, waris, wakaf, zakat. Ada 22 macam kewenangan yang diatur dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006. Diantaranya adalah; Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Shaqah, Infak, Zakat, sampai pada masalah ekonomi syari’ah, kesemuanya merupakan sesuatu yang telah melekat pada masyarakat muslim. Dengan kata lain, hukum Islam yang menjadi kewenangan Peradilan Agama selama ini, telah menjadi living law, hukum yang hidup dan diamalkan oleh masyarakat. Seperti ungkapan Cicero; “…tiada masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat, hukum diadakan oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka”.
Bahkan semestinya, kewenangan Peradilan Agama tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan tersebut, tetapi juga menyangkut persoalan hukum Islam lainnya yang selama ini telah dipraktekan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sepanjang hukum Islam itu hidup dan dipraktekan oleh masyarakat, sepanjang itu pula seharusnya kewenangan yang dimiliki oleh Peradilan Agama. Mengingat, keberadaan Peradilan Agama sebagai sebauh legal structure, berbanding lurus dengan kewenangannya sebagai legal substance. Sehingga, jika legal structurenya kuat tetapi legal substance nya tidak kuat, maka ibarat sebuah bangunan hampa yang tidak ada isinya.
Namun demikian, beberapa kewenangan yang selama ini diemban oleh Peradilan Agama, ternyata dimiliki bukan hasil dari sebuah perencanaan strategis dari para pengelola atau pihak yang berwenang (by desaign), akan tetapi lebih karena persoalan tersebut secara sosiologis telah dipraktekkan oleh masyarakat. Hal ini seperti yang dijadikan alasan oleh anggota DPR ketika mengesahkan kewenangan ekonomi syariah dalam UU No. 3 Tahun 2006, dimana pertimbangan utamanya adalah “...bahwa ekonomi syariah adalah bidang perdata yang secara sosiologis merupakan kebutuhan umat Islam”.
Bagi Peradilan Agama, kewenangan (absolute competence) dan wilayah yurisdiksi pengadilan (relative competence) merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan. A.V. Dicey menyatakan, pembatasan pada dua kompetensi tersebut, meski tujuannya untuk kepentingan perlindungan hak-hak pencari keadilan, justru membuat lembaga peradilan
tidak memiliki posisi independen yang sempurna.
Meskipun demikian, dalam sejarahnya justru kompetensi inilah yang menjadi penentu bagi eksistensi badan peradilan termasuk Peradilan Agama
Pembaruan hukum keluarga sebenarnya sudah direspons oleh MA, baik melalui kebijakan maupun putusan. “Mahkamah Agung memahami perlunya pembaruan hukum keluarga,” kata hakim agung Mukhtar Zamzami.
Melalui kebijakan, misalnya, revisi Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan banyak menyinggung hukum keluarga dan kewarisan. Pedoman yang lazim disebut Buku II itu memberikan contoh kebijakan yang berkaitan dengan penguatan hak-hak perempuan. Pertama, mendudukkan isteri sebagai pihak dalam perkara permohonan poligami. Walaupun disebut sebagai perkara permohonan, perkara poligami diperiksa secara kontentius. Artinya, dalam sidang permohonan poligami, pengadilan wajib mendengar suara dari isteri yang hendak dimadu.
Sejumlah putusan atau yurisprudensi penting juga sudah ditelorkan MA, yang menunjukkan responsi atas perkembangan hukum keluarga. Pertama, harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri pertama merupakan harta bersama milik suami dan isteri pertama saja. Sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan isteri kedua menjadi harta bersama milik suami dengan isteri pertama dan isteri kedua. Begitu seterusnya.
Kedua, dalam perkara cerai talak hakim karena jabatannya dapat menetapkan kewajiban mut’ah dan pemberian nafkah iddah kepada isteri walaupun tidak ada tuntutan dari si isteri, selama isteri tidak terbukti nusyuz. Nusyuz adalah perbuatan melawan perintah atau larangan suami secara mutlak. Dalam hal hukum waris, salah satu contoh kebijakan MA adalah memperbolehkan cucu dari anak perempuan mendapat warisan dalam kedudukan sebagai ahli waris pengganti.
Ketiga, dalam perkara harta bersama, walaupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan yurisprudensi sebelumnya menyatakan harta dibagi dua, fifty fifty. Tetapi yurisprudensi terakhir (2007) menyatakan komposisi atau porsi masing-masing tidak harus 50 : 50, melainkan tergantung siapa yang lebih banyak menghasilkan harta. Jadi, porsinya bisa saja isteri lebih banyak daripada suami kalau isteri memang kontribusi isteri lebih banyak.
Mukhtar Zamzami meyakini bahwa putusan-putusan MA di bidang hukum keluarga jauh lebih maju dibanding negara lain yang mengenal peradilan sejenis seperti Malaysia dan Maroko. Karena itu, Mukhtar mengakui beberapa kali hakim-hakim agama di MA dikecam ulama karena putusan-putusan MA dianggap menabrak teks-teks fikih.
Tidak hanya status dan kedudukan yang telah mengalami perubahan, kewenangannya pun sudah mengalami keberanjakan, tidak lagi menangani persoalan ahwal al-Syakhsiyah (hukum keluarga), tapi sudah berwenang menyelesaikan persoalan ekonomi syariah. Hal ini seperti ditunjuk oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Namun, untuk hokum materiilnya tidak mengalami perubahan dan keberanjakan yang cukup berarti. Meski demikian, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bagi umat Islam Indonesia, Peradilan Agama posisi, status, dan kedudukannya sudah semakin kuat dan kokoh. Kuat dan kokohnya status Peradilan Agama di Indonesia, ternyata disebabkan oleh karena desakan faktor kultur masyarakat muslim Indonesia daripada rekayasa dan upaya pihak struktural. Kalaupun ada usaha dari pihak struktural, hal itu lebih bersifat politis akomodatif penguasa terhadap sesuatu yang telah menjadi tradisi dan perilaku masyarakat.
















DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq. 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987
Amin, Muhammad. 2004, Hukum Ke luarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Azizy. 2002. Elektisisme Hukum Nasional; Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gema Meida, 2002.
Daud, Ali Muhammad. 1997. “Hukum Islam, UUPA, dan Masalahnya”, dalam Cik Hasan Bisri, Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia. Bandung: Ulil Albab Press.
Gibb, H.A.R., 1993. Aliran-aliran Modern dalam Islam, terj. Machnun Husain, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Khumayini, Ahmad. al-Ahwal as-Syakshiyyah. Beirut-Lubnan: Dar al-Fikr.
Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, terj. Nirwoo dan AE.
Rasjidi, Lili. 2003. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju.
Soekanto, Soerjono. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali.
Soekanto, Soerjono. 1991. Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali.
Widiana, Wahyu. 2004. “Pasang Surut Peradilan Agama dalam Politik Hukum Indonesia”, (Makalah), kuliah umum UNISMA Malang 17 April 2004.
Zuhriyah, Erfaniah. 2000, Peradilan Agama Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita). Malang: UIN-Malang Press.
www. Badilag. Com
www. Blog at WordPress. Com
0 Responses