“One Roof” Sistem Peradilan Agama Dalam Kekuasaan Kehakiman

Pendahuluan

Keberadaan lembaga peradilan dalam sebuah misi penegakan hukum dan keadilan di Negara ini dilandasi kerana bentuk negara Indonesia adalah negara berdasar atas hukum yang dideklarasikan bersamaan dengan di proklamasikan negara ini pada tanggal 17 Augustus 1945. Kehadiran lembaga peradilan di negara ini tidak dapat juga dipisahkan dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Berpandukan pada cita-cita luhur tersebut, konsekuensinya adalah menuntut kepada lembaga peradilan agar di dalam setiap melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya selaras dengan cita-cita dan tujuan negara Republik Indonesia. Dengan demikian di samping lembaga peradilan sebagai wahana penyelesaian konflik atau sebagai tempat para pihak berperkara, juga harus mampu melindungi, mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Untuk itu agar sampai kearah yang mulia tersebut, lembaga perdilan harus mampu menunjukkan independensinya, bebas dari berbagai macam intervensi baik dari pihak eksekutif maupun pihak –pihak lain ekstrayudisial. (1)

Independensi lembaga peradilan adalah merupakan salah satu sub sistem yang didukung oleh beberapa sub sistem lain yang saling terkait, dan secara bersamaan atau bergantian terkadang muncul sebagai pengaruh yang kuat dalam penegakan hukum, untuk itu agar beberapa sub sistem dari sistem penegakan hukum itu berjalan efektif, menurut Lawrence Meir Friedman* harus berjalan seimbang antara tiga unsur sistem hukum (three elements of legal system) yakni: legal structure, legal substance dan legal culture.

1. Dr. Ahmad Mujahidin – Peradilan Satu Atap Di Indonesia

* Lawrence Meir Friedman – American Law: an Introduction, second edition, New

York: W. W. Norton & Company, 1998

Bersumber pada pemikiran tersebut di atas, dirumuskan asumsi-asumsi sebagai arah pengkajian penerapan sistem peradilan satu atap (one roof) di Indonesia, dalam upaya penegakan hukum dan keadilan yang jauh dari bayang-bayang intervensi eksekutif dan pihak ekstrayudisial.

Perjuangan Peradilan Agama Dan Ekstensinya

Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan agama, menegakan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkahwinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.

Perubahan signifikan di bidang ketatanegaran dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (One Roof System) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan kemasukan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amendmen ketiga UUD 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya UU Nomor 4 tahun 2005 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan perdilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan perdilan militer, lingkungan perdilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. (2)

Konsekuensi dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparen.

2. Ahsan Dawi Mansur – Paradigma Baru Peradilan Agama

Meskipun telah beralih ke Mahkamah Agung, hubungan antara Pengadilan Agama dan Departemen Agama akan terus berlangsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan penetapan (itsbat) kesaksian melihat bulan (rukyat al-hilal) dalam penentuan awal bulan pada tahun hijriyah (terutama awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah). Perlaksanaan rukyat hilal dilakukan oleh Departemen Agama dan lembaga/ormas-ormas Islam, sedangkan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal (bulan baru) menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Berkaitan dengan hisab rukyat Pengadilan Agama juga dapat memberi keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu solat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah.

Untuk menyahut cabaran dan merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan perluasan kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan Agama bertugas dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkahwinan, waris , wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syariah.

Dalam bidang perkahwinan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut dalam mengadili dan menyelesaikan masalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebelum lahirnya UU Nomor 3 tahun 2006 kewenangan Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak yang merupakan bagian dari bidang perkahwinan sering dipertanyakan banyak pihak meskipun telah lama dipraktekkan. Kini perkara pengangkatan anak di Peradilan Agama telah mendapat landasan hukum yang kuat dan jelas.

Pada awal pembetukan UU Nomor 3 tahun 2006 wacana yang berkembang dalam antara lain pemberian kewenangan sengketa bank syariah kepada Pengadilan Agama seiring tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Dalam perkembangannya tidak hanya mencakup bank syariah, namun meliputi ekonomi syariah yang kemudian diakomodir dalam undang-undang ini. Jika diperinci kewenangan Pengadilan Agama dalam ekonomi syariah mencakup: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menegah syariah dan bisnis syariah.

Rumusan Pasal 2 UU Nomor 3 tahun 2006 menyebutkan Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu, berbeda dengan kewenangan sebelumnya yang terbatas pada perkara perdata tertentu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa Pengadilan Agama berwenang menangani perkara pidana, terutama berkaitan dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkahwinan dan peraturan di bawahnya. Ketentuan pidana yang dimaksud seperti ancaman pidana terhadap pelaku penikahan yang tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah, namun perlaksanaanya tidak berjalan efektif. Pelanggaran perkahwinan sangat jarang yang diproses, kalaupun ada biasanya diproses dengan ketentuan Pasal 279 KUHP, sehingga diperlukan payung hukum dan institusi yang diharapkan dapat menegakkan aturan mengenai pelanggaran perkahwinan iaitu Pengadilan Agama. (3)

Perubahan signifikan lainnya dari UU Nomor 3 tahun 2006 adalah mengenai subjek hukum yang diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan umum UU Nomor 7 tahun 1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama.

Kewenangan Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM), aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru Peradilan Agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan masalah hukum yang berkembang di masyarakat.

3. Ahsan Dawi Mansur – Paradigma Baru Peradilan Agama

Masa Depan Peradilan Agama Dalam Lingkungan One Roof

Perspektif sejarah tentang pasang surut eksistensi Peradilan Agama di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor politik kolonial saja (sebagaimana diketahui dari fakta-fakta sejarah ), namun faktor adanya konflik antara tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia (Hukum Islam, Hukum Sipil/Barat, dan Hukum Adat) yang kemudian diperuncing oleh konsep-konsep/teori-teori hukum yang dicetuskan para ahli hukum kolonial pun memiliki andil atas pasang surutnya eksistensi Peradilan Agama. Sebut saja teori Receptio in complexu (Prof. Mr. Lodewijk William Christian Van Den Berg), teori Reseptie (Prof. Christian Snouck Hurgronje dan C. Van vallenhoven), teori Receptie Exit (Prof. Dr. Hazairin, SH.) dan teori Receptie a Contrario. (4)

Maka peradilan agama sebagai sistem peradilan yang diakui sebagai sistem peradilan nasional di Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan di sektor kekuasaan yudikatif/kehakiman yang eksistensinya jika dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka landasan hukum yang mengatur tentang eksistensi peradilan agama secara hierarki sebagai berikut : (5)

>UUD 1945 Pasal 24 dan 25 tentang Kekuasaan kehakiman

>Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35

Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal

Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.

4. Raj FirassCakrayukti - Satu Atap dalam Mahkamah Agung RI

(Sebuah Keharusan Sejarah Dan Keharusan Hukum)

5. Ibid

Penerapan Sistem One Roof Di Indonesia

Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) yang efektifnya telah dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama ini menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan*, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan struktur organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan struktur organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan langkah “pensatu-atapan” lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI --- terlepas ide dan gagasan kearah “satu atap” itu terinisiatif dari dalam orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah** ungkap bahwa Peradilan Agama “satu atap” dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena persoalan Peradilan Agama menjadi “satu atap” dengan Mahkamah Agung RI bukan masalah berat bagi Departemen Agama RI --- tetapi lebih dari karena eksistensi perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan “umat Islam” dan ulama dimana kecenderungan “masyarakat/umat Islam” dan ulama/kiai (MUI) cenderung kurang menyetujui

* Bagir Manan, Peradilan Satu Atap Di Bawah MA, http://www.tempointeraktif.com/Hukum, 6 Januari 2004

** Abdul Gani Abdullah (Dirjen Peraturan Perundang-undangan dan Hukum), Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam Acara Prospek Peradilan Agama Dalam Satu Atap Mahkamah Agung RI di Wisma Guna PTA Bandung pada tanggal 10 Pebruari 2004

keinginan dan gagasan tersebut. Maka kehati-hatian untuk mencapai arah “pensatu-atapan” lembaga Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total harus ekstra diperhatikan.

Peradilan Agama adalah pranata konstitusional. Menjalankan Peradilan Agama menjadi tanggungjawab dan kewajiban konstitusional. Karena itu, penghapusannya hanya mungkin kalau ada perubahan UUD. Dan ini merupakan sesuatu yang sulit dibayangkan akan terjadi. Inilah perubahan signifikan yang terjadi pada Peradilan Agama di era reformasi. Eksistensinya; status sudah sangat kuat secara konstitusional, kedudukannya sudah sama dengan badan-badan peradilan lainnya. Sehingga, independensi dan kemandirian institusionalnya bisa meningkat, termasuk juga kepercayaan dari masyarakat pencari keadilan. (6)

Maka dari itu, hukum Islam yang menjadi kewenangan Peradilan Agama selama ini, telah menjadi living law, hukum yang secara sosiologis telah dipraktekkan oleh masyarakat islam. Hal ini seperti yang dijadikan alasan oleh anggota DPR ketika mengesahkan kewenangan ekonomi syariah dalam UU No. 3 Tahun 2006, dimana pertimbangan utamanya adalah bahwa ekonomi syariah adalah bidang perdata yang secara sosiologis merupakan kebutuhan umat Islam, oleh karena itu hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, tidak hanya terbatas pada hukum positif, yakni UU atau law in books semata, tapi juga hukum yang sudah lama dilaksanakan secara penuh oleh masyarakat (living law) termasuk juga hukum yang berada pada kitab-kitab fiqh baik yang sudah dikodifikasikan maupun yang belum.

Akan tetapi, mengingat Indonesia adalah negara hukum dengan anutan system Eropa Kontinental, maka berlaku teori legisme/legistik, yakni ada Undang-undang ada hukum dan ada hukum ada Undang-undang. Dalam arti, setiap segala seuatu yang berkaitan dengan aturan, jika hendak dikatakan hukum maka harus diwujudkan dalam bentuk UU atau peraturan lainnya yang bersifat positif. Karena itu, idealnya hukum materiil bagi Peradilan Agama adalah hukum yang sudah berbentuk undang-undang. Sehingga, kuat dan mandirinya status dan kedudukan Peradilan Agama, juga diimbangi dan dibarengi dengan kuat dan kokohnya status hukum materiilnya.

6. Muhammad Syarifuddin – Reformasi Hukum di Indonesia & Implikasi

Terhadap Peradilan Agama

Hal ini agar ada keseimbangan antara status dan kedudukan (legal structure) dengan kewenangan untuk dipergunakan di dalam memutuskan perkara yang menjadi kewenangannya. Namun demikian, meskipun hukum materiil untuk beberapa kewenangan Peradilan Agama ini belum kuat statusnya, tetapi karena yang menjadi kewenangannya secara sosiologis dan kultural merupakan sesuatu yang tumbuh, berkembang, dan dilaksanakan oleh masyarakat, maka masyarakat tidak pernah mempersoalkannya. Termasuk juga isi/substansi yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI. Karena itu, ketundukan dan penundukan masyarakat terhadap KHI tersebut, selaras dengan teori Van den Berg, yakni receptio in complexu. Ia menyatakan bahwa” Hukum mengikuti agama yang dianut oleh seseorang. Kalau orangnya beragama Islam, maka hukum Islamlah yang berlaku baginya”. Menurutnya, orang Islam yang ada di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya. (7)

Dr Jaenal Aripin di dalam penulisannya mengatakan sepanjang masyarakat muslim Indonesia ada; patuh dan taat, serta tunduk menjalankan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang itu pula peradilan agama akan tetap ada (eksis), meskipun seandainya pihak penguasa berusaha menghapuskan peradilan agama baik secara politis maupun hukum melalui peraturan perundang-undangan, namun peradilan agama akan tetap ada yakni dalam bentuk quasi peradilan. (8)

7. Ibid

8. Dr Jaenal Aripin, MAPeradilan Agama Dalam Konstitusi Baru

Posisi Peradilan Agama Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam lembaran negara RI 1989 No. 49. Sebelumnya sudah ada UU N0. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN. Dengan lahirnya undang-undang ini setiap lingkungan peradilan yang disebutkan dalam pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 sudah memiliki landasan kedudukan dan kekuasaan.

Salah satu tujuan pokok UU No. 7 tahun 1989 di atas adalah mempertegas kedudukan dan kekuasaan lingkungan peradilan agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman atau judicial power dalam negara Republik Indonesia. (9)

Pada tahun 2006, UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah disahkan oleh DPR RI. Dan pada tahun 2009 terjadi perubahan kedua atas UU Nomor 7 tahun 1989 dengan disahkannya UU No. 50 Tahun 2009. Proses perubahan berjalan lancar tanpa kontroversi. Tanpa ada perdebatan alot baik ditingkatan politisi, akademisi maupun masyarakat umum. Seolah semua mengamini dan meneguhkan akan pentingnya revisi UU tersebut bagi Pengadilan Agama (PA) pasca satu atap dengan Mahkamah Agung (MA).

Dengan disahkannya UU nomor 3 tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009, maka secara yuridis formal kelembagaan Peradilan Agama semakin kokoh dan mempuyai kedudukan yang sama dan sejajar dengan tiga lingkungan peradilan lainnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer.

Diberlakukannya UU Nomor 3 tahun 2006 tersebut menandai lahirnya paradigma baru peradilan agama. Paradigma baru itu menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Kata “perkara tertentu” merupakan perubahan terhadap kata “perkara perdata tertentu” sebagaimana disebutkan dalam UU No. 7 Tahun 1989. Penghapusan kata ini dharapkan agar tidak hanya perkara perdata saja yang menjadi kewenangan pengadilan agama.

9. Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si. - Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Masa Depan Peradilan Agama

Dengan adanya UU No. 3 Tahun 2006 ini, landasan hukum positif penerapan hukum Islam menjadi lebih kokoh. Hal ini mengingat, ada beberapa perubahan fundamental yang dilakukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 terhadap UU No. 7 tahun 1989, khususnya menyangkut teknis penyelesaian sengketa kewenangan antara Peradilan Agama dengan Peradilan Umum. Ada beberapa titik singgung antara keduanya, khususnya menyangkut hak opsi dan sengketa kepemilikan.

Kewenangan Pengadilan Agama yang ada pada pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 adalah kompetensi absolut dari Pengadilan Agama. Dalam artian lingkungan peradilan lain tidak berhak untuk mengadili sengketa-sengketa sebagaimana yang tertuang dalam pasal tersebut.

Adapun perubahan-perubahan penting yang terdapat dalam UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut: (10)

a. Penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh MA maupun eksternal oleh KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;

b. Memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pengadilan tingkat pertama maupun hakim pada pengadilan tinggi, antara lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan oleh MA dan KY secara transparan, akuntabel dan partisipatif serta harus lulus pendidikan khusus hakim;

c. Pengaturan mengenai pembentukan pengadilan khusus, dan pengaturan mengenai syarat, tatacara pengangkatan dan pemberhentian, serta tunjangan hakim ad hoc diatur dalam UU. Jadi di PA ada kemungkinan jika dibutuhkan bias membentuk hakim ad hoc;

d. Pengaturan mekanisme dan tata cara pemberhentian hakim;

e. Jaminan atas keamanan, kesejahteraan dan remunerasi hakim. Disini ditegaskan bahwa setiap Hakim di samping mendapatkan gaji pokok dan tunjangan jabatan, juga harus mendapatkan hak berupa rumah jabatan milik negara, jaminan kesehatan dan sarana transportasi (roda empat) milik negara;

10. Ibid

f. Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan maksimal 14 hari dari pembacaan putusan, jika tidak dilaksanakan maka ketua pengadilan akan dikenai sanksi admnistratif;

g. Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban biaya perkara;

h. Bantuan hukum secara Cuma-Cuma bagi pencari keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum;

i. Majelis kehormatan hakim dan kewajiban hakim untuk mentaati Kode Etik dan Perilaku Hakim; dan

j. Usia pensiun hakim tingkat pertama menjadi 65 tahun dan usia hakim tinggi menjadi 67 tahun serta pensiun Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti tingkat pertama menjadi 60 tahun dan untuk tingkat banding menjadi 62 tahun.

Dari paparan diatas, khususnya pasca disahkannya UU No. 3 Tahun 2006, UU No. 50 Tahun 2009 dan UU No. 48 Tahun 2009, nampak bahwa posisi Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sudah sangat kokoh dan sejajar dengan peradilan lainnya.

Lalu, bagaimana masa depan atau prospek Peradilan Agama pasca disahkannya ke tiga UU tersebut? Menurut penulis (Ahmad Zaenul Fanani) setidaknya masa depan Peradian Agama akan diperhadapkan dengan berbagai peluang dan tantangan yang akan menentukan sejauh mana eksistensinya dalam dinamika kehidupan masyarakat.

Peluang dan dan tantangan ini bukanlah sesuatu yang dikotomik, bukan pula quasi yang sengaja dideskripsikan untuk menghambat kemajuan peradilan agama secara institusional, melainkan merupakan bagian inheren yang akan senantiasa memberi warna dalam dinamika kelembagaan serta semakin mendewasakan lembaga peradilan agama dalam mewujudkan visi keadilan yang telah disepakati. (11)

11. Ibid

4. Penutup

Eksistensi dan kewenangan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dari waktu ke waktu berubah tergantung kepada dinamika politik hukum bangsa. Meskipun demikian, eksistensi peradilan agama di Indonesia sangat kuat mengingat memiliki akar historis yang kuat pula dalam perjalanan sejarah masyarakat muslim Indonesia.

Di era reformasi, Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, secara konstitusional posisinya semakin kuat. Ia tidak hanya diakui dalam konstitusi

UUD 1945, akan tetapi juga diakui penuh dalam UU No. 4 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi UU No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

Tidak hanya status dan kedudukan yang telah mengalami perubahan, kewenangannya pun juga telah bertambah, tidak hanya menangani persoalan hukum keluarga, tapi juga hukum ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2009 yang telah diubah menjadi UU No. 50 tahun 2009. Namun untuk hukum materiilnya tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Oleh karena itu, dengan analisis SWOT (sistem analisis pemerintahan) maka di situ ada perlunya untuk meningkatkan kekuatan (strength) dan memanfaat kesempatan (opportunity) di atas semaksimal mungkin serta meminimalisir aspek kelemahan (weakness) dan ancaman (threat) dengan merumuskan agenda perbaikan dan perubahan secara menyeluruh.

Pengadilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Karena telah mempunyai hukum acara sendiri, dapat melaksanakan keputusannya sendiri, mempunyai juru sita sendiri, serta mempunyai struktur dan perangkat yang kuat berdasarkan UU. Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, tidak saja yang berlaku secara yuridis formal, yakni menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan (hukum positif), namun juga berlaku secara normatif. Karena hukum Islam adalah hukum yang mengalir dan berakar pada budaya masyarakat. Salah satu faktornya adalah karena fleksibilitas dan elastisitasnya. (12)

12. Muhammad Syarifuddin – Reformasi Hukum di Indonesia & Implikasi

Terhadap Peradilan Agama

Daftar Rujukan

Dr. Ahmad Mujahidin – Peradilan Satu Atap Di Indonesia

PT Refika Aditama, Bandung, Indonesia - 2007

Ahsan Dawi Mansur – Paradigma Baru Peradilan Agama

http://www.pa.wonosari.net/asset/paradigma_baru_pa.pdf

Raj FirassCakrayukti - Satu Atap dalam Mahkamah Agung RI

(Sebuah Keharusan Sejarah Dan Keharusan Hukum)

http://nurulhakim.multiply.com/journal/item/2

Ahmad Zaenal Fanani, SHI., M.Si. - Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dan Masa Depan Peradilan Agama

http://www.badilog.net/data/ARTIKEL/KEKUASAAN%20KEHAKIMAN%20YANG20%MERD

Muhammad Syarifuddin – Reformasi Hukum di Indonesia & Implikasi

Terhadap Peradilan Agama

http://m_syarifuddin.blogspot.com/2009/05/revormasi_hukum_di_indonesia_

dan.htr

Dr Jaenal Aripin, MAPeradilan Agama Dalam Konstitusi Baru

http://www.badilog.net/data/ARTIKEL/Resensi%20Disertasi%20Dr%20%

Jaenal%20Aripin.pdf

1 Response
  1. Yosep Says:

    Jika memang ada titik singgung kewenangan antara Peradilan Agama dan Peradilan Umum khususnya dalam hal sengketa kepemilikan, lalu bagaimanakah menentukan apakah suatu kasus masuk dalam kewenangan Peradilan Agama atau kewenangan Peradilan Umum?

    Mohon pencerahannya, terimakasih..