REFORMASI HUKUM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Reformasi di bidang hukum memang membutuhkan waktu yang lama dan dalam pelaksanaannya merupakan masalah yang rumit dan kompleks yang tidak mungkin dapat diatasi dengan memperbaiki salah satu bagian dari unsure-unsur hukum. Memperbaikinya harus secara keseluruhan dan tak dapat ditunda lagi. Perbaikan itu meliputi tahap formulasi (pembuatan peraturan perundang-undangan), tahap aplikasi (penerapan hukum) dan tahap eksekusi (penegakan hukum).

Di samping itu, upaya terhadap pembaruan hukum juga perlu terus dikembangkan melalui kegiatan-kegiatan non hukum yang mendukung penyelenggaraan hukum, seperti peningkatan pengetahuan dan kepatuhan hukum, kesadaran hukum, partisipasi dan peran serta warga masyarakat dalam penegakan hukum, serta perlu ditingkatkan pemberdayaan (empowering) masyarakat dalam penyelenggaraan hukum sesuai hak asasi manusianya.

Sudah saatnya kultur penyelenggaraan hukum yang terlalu berkosentrasi pada sistem hukum sebagai satu-satunya bangunan peraturan tanpa memasukkan dan memformulasikan unsure perilaku atau manusia di dalamnya harus ditinggalkan. Hukum tidak dapat lagi ditempatkan sebagai sebuah dokumen absolute dan otonom. Kreativitas manusia penegak hukumnya harus diberikan kesempatan dalam berolah improvisasi pada penegakan hukum dan pembangunan hukum.

Perubahan yang terjadi bagi lingkup Peradilan Agama antara lain adalah semakin kokohnya secara kelembagaan status dan kedudukan Peradilan Agama, yang tetap dikukuhkan keberadaannya di bawah Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indoneisa. Konsekuensi selanjutnya adalah meningkatnya peran dan fungsi yang bisa dijalankan oleh lembaga peradilan Islam ini, yang tidak hanya menangani perkara hukum keluarga (al-Akhwal al-Shakhsiyyah) saja, tetapi juga berwenang menyelesaikan sengketa dalam perkara ekonomi syari’ah. Meski demikian, reformasi hukum ini hampir tidak membawa perubahan yang berarti bagi Peradilan Agama dari sisi materi hukum, kecuali diteguhkannya kembali Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.

REFORMASI HUKUM

Gerakan reformasi yang terjadi di Indonesia (1998) menjadi topik hangat untuk di didiskusikan, terkait hal itu reformasi hukum tentunya mendapat tempat yang di prioritaskan dari aspek-aspek yang lain. Hal ini tersebab bahwa tidak mungkinnya reformasi dilakukan secara ber-jama’ah, terkait bahwa hakikatnya bukan revolusi.

Sudah 60 tahun Indonesia merdeka, tetapi upaya untuk membahagiakn kehidupan rakyat seolah-olah jalan di tempat. Di satu pihak, perangkat peradilan, termasuk sistem hukum dan kualitas hakim dan pengelola, masih tersangkut kebijakan tambal sulam. Di pihak lain, segi politik yang mempengaruhi parameter keadilan dari sebuah hukum tersebut. Akibatnya, tingkat aksebilitas Peradilan Agama masih dibilang selalu dimarjinalkan. Hal ini memang terjadi ketika seluruh masyarakat, mahasiswa, LSM, politisi bersatu menghancurkan rezim soeharto, akhirnya karut marutnya di zaman tersebut juga bias terasa pada zaman saat ini pula, bias juga dikatakn bahwa seluruh kekuatan berfikir dan realisasinya hanya terfokus menurunkan rezim tersebut, tanpa berfikir bagaimana mengupayakn hukum yang progresif untuk Peradilan Agama.

Secara faktual reformasi diawali dengan melakukan amandemen UUD 1945, dengan tujuan memberikan arah pembangunan hukum yang mampu memberikan perlindungan kepada seluruh elemen masyarakat, sehingga terpenuhi hak konstitusionalnya. Menurut Jimly, pembaharuan hukum dapat dikelompokan menurut bidang-bidang: politik dan pemerintahan, ekonomi dan dunia usaha, kesejahteraan dan budaya, serta penataan sistem dan aparatur hukum.[1]

Keberhasilan dalam aspek kebebasan berpolitik dan kebebasan berekspresi, menjadi keberhasilan demokrasi di masa reformasi. Keberhasilan ini sejalan dengan pemikiran Huntington, “...ada hal lain yang perlu dilakukan oleh negara yang sedang berada dalam transisi demokrasi seperti Indonesia, yaitu menjaga stabilitas pemerintahan demokrasi”. Tidak hanya itu, demokrasi juga ternyata menjadi jargon dan kendaraan politik reformasi. Willy Eichler menyatakan, “...esensi demokrasi adalah proses, karenanya ia merupakan sistem yang dinamis ke arah yang lebih baik dan maju dibandingkan dengan sebelumnya”.[2] Robert A. Dahl menyebut demokrasi sebagai sarana, bukan tujuan, yakni sarana untuk mencapai persamaan (equality) politik yang mencakup tiga hal: kebebasan manusia, perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan, dan perkembangan diri manusia.

EKSISTENSI KHI

Sebelum Indonesia merdeka, telah muncul hukum materiil menyangkut Perdata Islam yakni; (Civiele Wetten der Mohammeddaansche) dan telah mendapatkan legalitas pemberlakuannya secara positif melalui Resolutie der Indische Regeering (VOC) tanggal 25 Mei 1760, dikenal dengan Compendium Freijer.[3] Compendium ini merupakan hukum materiil dalam bentuk legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.[4] Kecuali itu, kitab undang-undang yang memuat atau mengadopsi hukum Islam adalah Papakem Cirebon[5] dan Compendium der Voornamste Javaanche Wetten Naukeurig Getrokken Uit Het Hohammedaanche Wetboek Mogharrer yang lebih terkenal dengan Compendium Moghareer mengingat materinya diambil dari kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i.[6]

Meskipun KHI pada praktiknya dipakai sebagai pedoman dalam menerima, memeriksa, dan memutus sengketa antara umat Islam, akan tetapi karena landasan pemberlakuannya hanya berdasarkan Inpres dan sifatnya hanya sebagai kompilasi maka sesungguhnya, secara yuridis kekuatan hukum berlakunya lemah. Hal ini paling tidak disebabkan oleh dua hal; Pertama, dasar pemberlakuan KHI hanya Instruksi Presiden. Sebagai instrumen hukum, Inpres tidak masuk dalam tata aturan perundang-undangan[7] yang ditetapkan dalam MPRS No. XX/MPRS/1966, ketetapan MPR masa reformasi; TAP MPR No. I/MPR/2003, atau ketetapan MPR sebelumnya, yakni TAP MPR No. III/MPR/2000, termasuk juga Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urut Peraturan Perundang-Undangan. Baik ketetapan MPR maupun UU tersebut, merupakan dasar hukum atas tata aturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum positif secara tertulis. Keberadaannya dapat memaksa dan mengikat setiap warga negara. Sedangkan Inpres adalah instrumen hukum yang absah dilakukan Presiden dan mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memaksa pada pihak yang diperintah.

Natabaya menyatakan “…mengenai Instruksi Menteri, bukanlah jenis peraturan perundang-undangan karena instruksi hanya mengikat secara intern suatu organisasi (baik pemerintah/negara maupun nonpemerintah) kalau toh mengikat keluar sebatas pada orang atau instansi yang diberi instruksi tersebut. Dengan demikian maka Instruksi Menteri dan Instruksi Presiden tidak termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan”.[8]

Kedua, KHI bila dilihat dari pemberlakuannya, ia bersifat fakultatif tidak bersifat imperatif. Hukum imperatif adalah hukum yang memaksa, yakni kaidah-kaidah hukum yang secara a priori harus ditaati. Ia mempunyai kekuatan untuk memaksa dan mengikat secara mutlak. Sedangkan hukum fakultatif tidaklah secara apriori harus ditaati atau tidak apriori untuk dipatuhi, melainkan sekedar melengkapi, subsidair atau dispositif. Dalam hukum fakultatif masih terdapat ruang pilihan untuk melakukan yang lain ataupun sama sekali tidak melakukannya. Atau dalam istilah lain hukum fakultatif adalah hukum yang tidak harus mengikat atau dapat dipilih. Karena itu, dalam hukum fakultatif masih ada ruang pilihan untuk melakukan yang lain ataupun sama sekali tidak melakukannya. Terlepas dari sifat dan karakter ke-fakultatifannya, yang jelas KHI adalah hukum transisi untuk menuju pada kekuatan hukum positif tertulis seperti dalam tata aturan perundang-undangan yang bersumber dari fiqh. Abdul Manan menyatakan bahwa “…menjadikan nilai-nilai fiqh dalam bentuk perundang-undangan sebagai hukum positif merupakan konsekuensi negara Indonesia mengikuti sistem hukum Romawi (Romawi law sistem), mengingat peraturan perundang-undangan yang telah dijadikan hukum positif oleh negara merupakan sumber hukum yang kuat bagi hakim dalam memutuskan perkara”.[9] Dengan demikian, hakim tidak boleh menyimpang dari ketentuan ini, jika hakim menganggap dalam peraturan hukum tidak jelas, diharuskan untuk melakukan penafsiran (verstehn) terhadap pasal yang berbeda untuk –menurut Gani Abdullah-- menemukan hukum (rechtssvinding law). Jika ada kasus yang dihadapi belum ada hukumnya, ia wajib menciptakan (rechtsschepping) hukum baru dengan ijtihad dan mengambil preseden hukum yang hidup di masyarakat (living law). Meskipun KHI secara yuridis formal lemah, akan tetapi masyarakat pencari keadilan tidak begitu mempermasalahkannya. Dengan demikian, dasar berlaku dan diterimanya KHI oleh masyarakat, lebih didasarkan pada kondisi bahwa KHI (fiqh Indonesia) merupakan hukum yang hidup (living law), yaitu sebuah hukum yang dipatuhi oleh masyarakat karena memang sesuai dengan kondisi masyarakat dan kesadaran hukum masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Eugien Ehrlich di atas bahwa,[10]

“…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat, hukum positif hanya akan efektif apabila searah dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern). Di samping itu, keberlakuan hukum yang hidup di masyarakat (living law) jauh lebih kuat dari keberlakuan hukum positif (written law). Karena itu, dalam konteks penyusunan norma-norma hukum yang akan dijadikan sebagai bahan untuk menyusun ius constituendum, Ehrlich menganjurkan agar memperhatikan kenyataan yang hidup di masyarakat. Kenyataan-kenyataan tersebut dinamakan living law dan just law. Ia juga mengatakan bahwa, hukum positif yang baik adalah hukum yang sesuai dengan living law karena merupakan innder order dari masyarakat serta mencerminkan nlai-nilai yang hidup di dalamnya. Dalam kaitan ini, seandainya hendak dilakukan perubahan hukum, secara filosofis harus memperhatikan nilai-nilai luhur dari living law agar berlaku efektif dan tidak mendapatkan tantangan. Melihat kenyataan tersebut, sesungguhnya bila dipotret dengan teori three elements law sistem Friedman, terutama legal substance, bahwa; “…substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu”. Legal substansi juga mencakup living law (hukum yang hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in books.[11] Pada intinya, legal substance adalah mencakup aturan-aturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. Tepatnya, hukum yang berbentuk in-concreto atau kaidah hukum individual, maupun hukum in-abstracto atau kaidah hukum umum. Berdasarkan teori tersebut, hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, tidak hanya terbatas pada hukum positif, yakni UU atau law in books semata, tapi juga hukum yang sudah lama dilaksanakan secara penuh oleh masyarakat (living law) termasuk juga hukum yang berada pada kitabkitab fiqh baik yang sudah dikodifikasikan maupun yang belum. Akan tetapi, mengingat Indonesia adalah negara hukum dengan anutan sistem Eropa Kontinental, seperti diungkapkan Abdul Manan sebelumnya, maka berlaku teori legisme/legistik, yakni ada Undang-undang ada hukum dan ada hukum ada Undang-undang. Dalam arti, setiap segala seuatu yang berkaitan dengan aturan, jika hendak dikatakan hukum maka harus diwujudkan dalam bentuk UU atau peraturan lainnya yang bersifat positif.

Karena itu, idealnya hukum materiil bagi Peradilan Agama adalah hukum yang sudah berbentuk undang-undang. Sehingga, kuat dan mandirinya status dan kedudukan Peradilan Agama, juga diimbangi dan dibarengi dengan kuat dan kokohnya status hukum materiilnya. Hal ini agar ada keseimbangan antara status dan kedudukan (legal structure) dengan kewenangan serta hukum materiil (legal substance) untuk dipergunakan di dalam memutuskan perkara yang menjadi kewenangannya.

Namun demikian, meskipun hukum materiil untuk beberapa kewenangan Peradilan Agama ini belum kuat statusnya, tetapi karena yang menjadi kewenangannya secara sosiologis dan kultural merupakan sesuatu yang tumbuh, berkembang, dan dilaksanakan oleh masyarakat, maka masyarakat tidak pernah mempersoalkannya. Termasuk juga isi/substansi yang terdapat dalam KHI. Karena itu, ketundukan dan penundukan masyarakat terhadap KHI tersebut, selaras dengan teori Van den Berg, yakni receptio in complexu.[12] Ia menyatakan bahwa “…hukum mengikuti agama yang dianut oleh seseorang. Kalau orangnya beragama Islam, maka hukum Islamlah yang berlaku baginya. Menurutnya, orang Islam yang ada di Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya.[13]

PERANAN MAHKAMAH AGUNG[14]

Dalam rangka menjadikan keadilan substantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) memegang peran yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim di negeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut.

Di sisi lain, MA hendaknya juga berani secara terang-terangan menilai bagus dan mengacungkan jempol kepada hakim-hakim yang berani menyampingkan hal-hal yang bersifat procedural belaka.

Sekarang, ditengah-tengah usaha untuk memulihkan citra hukum Indonesia, terbuka peluang besar bagi MA untuk memelopori pengadilan yang berjalan progresif.

Dalam kaitan itu, MA perlu mendorong dan membesarkan hati para hakim yang berani mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Janganlah MA kita melakukan hal-hal yang dijalankan oleh Supreme Court AS, yang dikritik sebagai suatu lembaga yang telah gagal untuk menjadikan pengadilan benar-benar sebagai hall of justice (rumah keadilan).

Baiklah para hakim agung kita merenungkan salah satu kritik terhadap Supreme Court berikut ini,…” I disagree with many Supreme Court decisions and think that the balance the Court has drawn betwaan defendant’s right and truth is much too badly undervalued in the sistem….” (“Saya tidak terhadap banyak putusan Supreme Court dan berpendapat bahwa keseimbangan antara hak-hak terdakwa dan kebenaran terlalu berat kea rah terdakwa dan bahwa kebenaran sangat dinilai rendah dalam sistem yang dipakai,” dalam Pizzi diatas).

Pengadilan dan sistem pengadilan di Indonesia sebaiknya memanfaatkan berbagai kelebihannya, karena tidak menggunakan adversary sistem, di mana hakim berperan aktif sehingga dapat menghindari berbagai kelemahan hakim yang “frustasu karena kehilangan kendali” tersebut di atas. Apabila oleh para pengkritiknya dikatakan bahwa hukum di AS mengalami frustasi karena kehilangan kendali dalam mewujudkan keadilan, di Indonesia hakim justru berperan kuat. Maka progresivitas pengadilan di negeri ini untuk sebagian, penting ditentukan oleh apa yang dilakukan para hakimnya.

Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Kita akan menjadi semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhanam dan biaya ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.

Kita seharusnya dapat menghindari keadaan (over) proseduralized, sehingga pengadilan akan bergeser menjadi ajang permainan untuk mencari menang. Model proses mengadili yang disebut fair trial di negeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan di mana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran. Kita sebetulnya dapat berguru kepada beberapa hakim kita sendiri yang mengutamakan keadilan di atas hukum atau di atas prosedur. Konsep keadilan progresif masih memiliki berbagai sifat dan perincian yang lain, tetapi akan menjadi terlalu panjang apabila untuk sebuah kolom surat kabar. Cukuplah untuk sementara ditekankan pada semangat dan komitmen untuk mencari kebenaran dan keadilan di atas yang lain.

Akhirnya yang tidak kalah penting adalah kemauan kita sendiri untuk memulainya. Kita sudah terlalu lama menyerah pada tradisi yang dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menjalankan hukum. Kita tegaskan sikap kita bahwa hukum dan pengadilan adalah untuk mencari keadilan dan membahagiakan bangsa.

KESIMPULAN

Di era reformasi, Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, secara konstitusional posisinya sudah semakin kuat. Ia, tidak hanya diakui dalam konstitusi UUD 1945, akan tetapi juga diakui penuh dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Melalui UU tersebut, Peradilan Agama ditempatkan pada tempat yang pas secara hukum, yakni berada satu atap di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi. Meskipun pengalihan dari posisi sebelumnya di Departemen Agama menuai protes; pro dan kontra, namun akhirnya Peradilan Agama tetap disatu atapkan bersama badan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung, dengan tetap memperhatikan Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia dalam hal pembinaannya. Tidak hanya status dan kedudukan yang telah mengalami perubahan, kewenangannya pun sudah mengalami keberanjakan, tidak lagi menangani persoalan ahwal al-Syakhsiyah (hukum keluarga), tapi sudah berwenang menyelesaikan terutama persoalan ekonomi syariah. Hal ini seperti ditunjuk oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Namun, untuk hukum materiilnya tidak mengalami perubahan dan keberanjakan yang cukup berarti. Meski demikian, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bagi umat Islam Indonesia, Peradilan

Agama posisi, status, dan kedudukannya sudah semakin kuat dan kokoh. Kuat dan kokohnya status Peradilan Agama di Indonesia, ternyata disebabkan oleh karena desakan faktor kultur masyarakat muslim Indonesia daripada rekayasa dan upaya pihak struktural. Kalaupun ada usaha dari pihak struktural, hal itu lebih bersifat politis akomodatif penguasa terhadap sesuatu yang telah menjadi tradisi dan perilaku masyarakat.

Atas dasar ini maka, penulis merumuskannya dalam sebuah teori baru yang disebut dengan cultural existence theory sebagai teori temuan. Yakni; “kokohnya keberadaan (existence) Peradilan Agama lebih disebabkan karena dorongan sosial dan budaya (cultural)”. Dalam pengertian luas, secara kultural, Peradilan Agama merupakan sui generis bagi umat Islam Indonesia. Ia ada (exist) karena terkait dan/atau dipengaruhi oleh kultur/budaya masyarakat muslim Indonesia. Sepanjang masyarakat muslim Indonesia ada; patuh dan taat, serta tunduk menjalankan ajaran agamannya dalam kehidupan seharihari, sepanjang itu pula Peradilan Agama akan tetap ada (exist), meskipun seandainya pihak penguasa berusaha menghapuskan Peradilan Agama baik secara politis maupun hukum melalui peraturan perundang-undangan, namun Peradilan Agama akan tetap ada (exist), yakni dalam bentuk quasi peradilan.

Teori tersebut didasarkan pada beberapa argument pendukung, yakni; Pertama, sebelum dan sampai pada masa kemerdekaan, eksistensi Peradilan Agama sering mengalami abuse of authority dari penguasa; baik status dan kedudukan maupun kewenangannya. Puncaknya adalah pada tahun 1948, ketika Peradilan Agama dihilangkan secara konstitusional melalui UU No. 19 Tahun 1948, dimana yang diakui hanya Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Ketentaraan. Karena mendapatkan protes keras dari umat Islam Indonesia --mengingat UU tersebut tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat muslim Indonesia sebagai entitas yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia secara keseluruhan-- akhirnya UU tersebut

mati sebelum diberlakukan. Kenyataan ini membuktikan bahwa, upaya penghapusan Peradilan Agama oleh struktur penguasa secara politis dan konstitusional tidak berhasil, mengingat dorongan sosiologis masyarakat muslim Indonesia agar Peradilan Agama tetap eksis, jauh lebih kuat.

Kedua, pada awal proses pengalihan Peradilan Agama dari Departemen Agama berada satu atap di bawah Mahkamah Agung atas perintah UU No. 35 tahun 1999, terjadi reaksi keras dalam bentuk penolakan dari umat Islam Indonesia. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Peradilan Agama tidak akan disatu atapkan sampai kiamat. Penolakan tersebut dikhawatirkan fungsi Peradilan Agama sebagai pranata sosial hukum Islam akan hilang, mengingat proses pembinaannya secara langsung tidak akan melibatkan umat Islam, serta akan hilang hubungan dan akar historis dengan umat Islam secara keseluruhan –yang direpresentasikan melalui Departemen Agama. Makna sebaliknya dari kenyataan ini adalah, dialihkan saja pembinaannya dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung sudah mendapatkan protes keras, apalagi kalau sampai Peradilan Agama dihapuskan. Padahal, pengalihan tersebut merupakan perintah UU dan sesuai dengan teori-teori hukum dan ketatanegaraan modern yang ada. Termasuk, begitu kuatnya faktor sosiologis, menjadikan Peradilan Agama tetap melibatkan MUI dan Departemen Agama –representasi dari umat Islam Indonesia—dalam proses pembinaannya, dan ini secara konstitusional diakui dalam UU No. 4 Tahun 2004, walaupun secara teoritis bertentangan dengan teori separation of power.

Ketiga, adanya kewenangan Peradilan Agama baik lama maupun baru seiring dengan diundangkannya UU No. 3 Tahun 2006, yakni; ekonomi syariah, zakat, infaq, dan pengangkatan anak, serta penetapan hasil istbat/ru’yah hilal. Munculnya kewenangan tersebut prakarsa awalnya bukan dilahirkan dari kebijakan penguasa terkait, melainkan lebih disebabkan karena bidang-bidang hukum tersebut secara sosiologis sudah menjadi praktek keseharian umat Islam, yang penyelesaian sengketanya memerlukan mekanisme peradilan. Inilah yang menjadi alasan utama ketika DPR memasukan kewenangan penyelesaian sengketa bidang ekonomi syariah ke Peradilan Agama sebagaimana disebut pada UU No. 3 Tahun 2006. Bahkan sesungguhnya, Peradilan Agama seharusnya berwenang menyelesaikan seluruh permasalahan yang menyangkut umat Islam, tidak hanya terbatas pada kewenangan tersebut, termasuk juga menyelesaikan perkara pidana.

Keempat, masih banyak hukum materiil yang dipergunakan sebagai pedoman oleh hakim dalam menyelesaikan perkaranya tidak dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya, termasuk Kompilasi Hukum Islam. Akibatnya, hakim di Pengadilan Agama harus berijtihad untuk mengambil hukum-hukum yang hidup di masyarakat (living law) termasuk juga dari kitab-kitab fiqh. Akan tetapi sejauh ini, masyarakat pencari keadilan yang berperkara di Pengadilan Agama tidak banyak melakukan protes atau mempertanyakan keabsahannya, bahkan umumnya mereka menerima dan merasa telah mendapatkan rasa keadilan sesuai yang diinginkan. Padahal, bagi negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental, hukum positif dalam bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lainnya merupakan sebuah keniscayaan. Mengingat, ada atau tidaknya hukum tergantung pada ada atau tidaknya undang-undang (legistik), melanggar hukum atau tidak, indikatornya adalah melanggar atau tidak atas undang-undang.

Kelima, dalam perspektif normatif, eksistensi Peradilan Agama bila diurut akar tunggangnya sampai pada preseden peradilan (qadha) yang dipraktekan sejak masa Rasulullah SAW., karena itu, kehadiran peradilan (Agama) dalam sebuah komunitas masyarakat (muslim) merupakan norma dan ajaran agama (sunatullah). Dia ada paralel dan berbanding lurus dengan adanya komunitas masyarakat (muslim). Eksistensi dalam bentuk formal atau in-formal bukan menjadi halangan bagi peradilan (Agama) untuk tetap ada (eksis) di tengah-tengah masyarakat. Adanya teori cultural existence theory beserta beberapa argumen penguatnya, berarti teori tiga elemen sistem hukum (three elements law sistem) sebagaimana dikemukakan Lawrence Meier Friedman, yang mengatakan bahwa efektif tidaknya penegakan hukum tergantung pada ketiga elemen sistem hukum, yakni; legal structure, legal substance, dan legal culture, tidak berlaku penuh, mengingat hanya legal culture yang berpengaruh terhadap perubahan Peradilan Agama dan beberapa aspeknya di era reformasi. Ini juga sekaligus menjadi pembeda dan membantah temuan Daniel S. Lev dalam Islamic Court in Indonesia:

A Study in The Political Base of Legal Institution, Universitas California Press, 1972, yang menyatakan bahwa “… eksistensi Peradilan Agama sesungguhnya sangat bergantung dengan kemauan politik pemerintahan yang berkuasa”. Bagitu pula dengan temuan dua hasil penelitian dalam bentuk Disertasi terdahulu yang ditulis oleh; Nur Ahmad Fadhil Lubis, Islamic Justice in Transition, A Social Legal Study in the Agama Court Judges in Indonesia, Universitas California tahun 1994 dan Muhammad Farid, Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia (Periode Tahun 1970 Sampai dengan Tahun 2006), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008. 27 Keduanya sepakat bahwa “…maju mundurnya keberadaan dan peran Peradilan Agama dalam episode perkembangannya amat ditentukan oleh faktor politik yakni olehPemerintah yang berkuasa”. Kesimpulan tersebut, berbeda dengan kesimpulan hasil penelitian Disertasi ini, yang menyatakan bahwa; bukan faktor politik yang berpengaruh pada ada atau tidaknya Peradilan Agama berikut kewenangannya, akan tetapi yang dominan adalah faktor sosial budaya masyarakat muslim Indonesia. Kesimpulan ini juga menguatkan studi yang dilakukan oleh John Bowen tentang aplikasi hukum Islam dan hak-hak perempuan. Melalui penelitian antropologi hukumnya, ia menyatakan bahwa eksistensi Peradilan Agama itu bersifat sangat kultural. Oleh karenanya ia memiliki kedekatan psikologis dengan pencari keadilan dari kalangan Muslim (Islam, Law, and Equality, Princeton University Press, 2004). Begitu pula halnya dengan temuan –meskipun hanya pada aspek hukum materiilnya/KHI-- hasil penelitian Disertasi Euis Nurlaelawati di Utecht University tahun 2008, tentang Modernization, Tradition, and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts. Ia katakan; “...the cultural faktor can be considered more dominant than the other two faktors int the case of those group in the community which have strongly maintained their traditional model in solving cases”. Pernyataan tersebut intinya meneguhkan bahwa faktor budaya ternyata lebih dominan dalam mempengaruhi keberadaan Peradilan Agama –termasuk hukum materiilnya/KHI-- bila dibandingkan dengan dua faktor lainnya, yakni; politik dan hukum atau struktural (legal structure) dan substansi hukum (legal substance) seperti teori tiga elemen sistem hukum dari Friedman.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000)

Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama.di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat,

(Jakarta: Rajawali, 1985)

H. Arso Sastroatmodjo & H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1975),

Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta: Sinar

Grafika, 1997)

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press,

2005)

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama, (kumpulan tulisan), (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2002), h. 225.

Nurcholis Madjid, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher (ed.),

Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, cet. I, (Jakarta: Paramadina, 1994)

Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics, dalam Syamsuddin Haris, Demokrasi di Indonesia,

cet. I, (Jakarta: LP3ES, 1995)

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, cetakan 2008)



[1]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), cet.

Ke-1. h. 384.

[2] Nurcholis Madjid, Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia, dalam Elsa Pedi Taher (ed.), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi, cet. I, (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 203.

[3] H. Arso Sastroatmodjo & H.A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11-12.

[4] Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), h. 12.

[5] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama.di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 108.

[6] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 59.

[7] 126“Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”. H.A.S. Natabaya, Sistem Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006), h. 17.

[8] Natabaya, Sistem Peraturan, h. 117-118.

[9] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 296.

[10] Teori ini berpangkal pada perbedaan antara hukum positif (hukum yang berlaku) dengan hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat. Eugen Ehrlich dalam Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali, 1985), 19.

[11] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum, h. 2.

[13] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama, (kumpulan tulisan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 225.

[14] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, cetakan 2008), h. 274

0 Responses