PERADILAN AGAMA DALAM PERSFEKTIF PERADILAN SATU ATAP

Pendahuluan

Eksistensi Peradilan Agama Dalam Tata Hukum Nasional

Hukum Islam yang sejak dulu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesadaran masyarakat Indonesia mengenai hukum dan keadilan yang memang jelas keberadaan atau eksistensinya dalam kerangka sistem hukum nasional. Secara instrumental, banyak ketentuan perundang-undangan Indonesia yang telah mengadopsi berbagai materi Hukum Islam ke dalam pengertian Hukum Nasional. Secara institusional, eksistensi Pengadilan Agama sebagai warisan penerapan sistem Hukum Islam sejak zaman pra penjajahan Belanda, juga terus dimantapkan keberadaannya.

Menilik pada sistem kekuasaan ketatanegaraan yang dianut NKRI, yaitu Sistem Trias Politika dimana menurut Charles Secondat Baron de Labrede et de Montesquieu (Baca : Montesquieu) sistem pemerintahan/kekuasaan negara terbagi ke dalam tiga kekuasaan besar : Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, yang sudah barang kekuasaan tersebut harus terpisah (independen), baik mengenai fungsi maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang melaksanakan dalam Ilmu Ketatanegaraan ajaran tersebut dikenal dengan the separation of power. Kemudian dalam UUD 1945 secara rinci diatur alokasi kekuasaan negara menjadi enam konsentrasi besar.

1. Kekuasaan menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara; diselenggarakan oleh MPR.

2. Kekuasaan Pemerintahan Negara; diselenggarakan oleh Presiden.

3. Kekuasaan Pertimbangan; dilaksanakan oleh Dewan Pertimbangan Agung.

4.Kekuasaan Perundang-undangan; dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

5.Kekuasaan Pemeriksaan Keuangan; dilakukan oleh Badan pemeriksa Keuangan.

6. Kekuasaan Kehakiman/Yudikatif; dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Maka peradilan agama sebagai sistem peradilan yang diakui sebagai sistem peradilan nasional di Indonesia berada pada sistem kekuasaan pemerintahan di sektor kekuasaan yudikatif/kehakiman yang eksistensinya jika dilihat sebagaimana ketentuan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, maka landasan hukum yang mengatur tentang eksistensi peradilan agama secara hierarki sebagai berikut :

1. UUD 1945 Pasal 24 dan 25 tentang Kekuasaan kehakiman

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal

Peradilan Agama menuju Penerapan Sistem Satu Atap

Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.

Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) yang efektifnya akan dimulai 1 April 2004. Hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR belum lama ini menyebutkan sistem peradilan satu atap dibawah MA selambatnya harus sudah dilaksanakan akhir Maret 2004. Dengan terbentuknya sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung menurut Bagir Manan maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan HAM serta Departemen Agama akan berpindah ke struktur Mahkamah Agung Republik Indonesia. Namun dengan belum selesainya penyusunan struktur organisasinya, maka struktur peradilan dibawah Departemen Kehakiman dan Departemen Agama belum akan segera dipindahkan ke lingkungan MA. Undang-Undang tentang Mahkamah Agung memberi waktu kepada MA untuk menyiapkan struktur organisasi peradilan satu atap tersebut selama satu tahun.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya dan langkah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama ke dalam Mahkamah Agung RI, terlepas ide dan gagasan kearah satu atapitu terinisiatif dari dalam orang-orang Peradilan Agama sendiri atau sebuah reaksi dari kenyataan sejarah dan hukum, sebagaimana telah dipaparkan diatas dan Abdul Gani Abdullah ungkap bahwa Peradilan Agama satu atap dalam Mahkamah Agung RI sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, meski masalah penetapan waktunya tidak ditentukan hal tersebut secara analisis teoritis karena persoalan Peradilan Agama menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung RI bukan masalah berat bagi Departemen Agama RI, tetapi lebih dari karena eksistensi perjalanan sejarah Peradilan Agama itu sendiri yang sejak dulu hingga kini eksistensinya tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan umat Islam dan ulama dimana kecenderungan masyarakat atau umat Islam dan ulama, kiai (MUI) cenderung kurang menyetujui keinginan dan gagasan tersebut.

Maka kehati-hatian untuk mencapai arah pensatu-atapan lembaga Peradilan Agama dalam Mahkamah Agung RI secara total harus ekstra diperhatikan, Jangan sampai tepatnya moment, adanya kesempatan dan besarnya dukungan terutama dari orang-orang legislatif (Baca : DPR) yang nampaknya begitu bersemangat untuk mendukung Peradilan Agama menyatu secara administratif dan teknis yuridis ke Mahkamah Agung menjadi sebuah euforia, sehingga dalam merealisasikan dan mengakhtuaisasikan harapan tersebut tidak memperhatikan hal-hal kecil namun memiliki sensitifitas yang tinggi dan dapat menimbulkan konflik kedepan

Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan, yang di antaranya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradlan Tata Usaha Negara. Selain itu Peradilan Agama juga merupakan peradilan khusus, yang mana diartikan peradilan khusus karena PA mengadili perkara-perkara tertentu yaitu hanya berwenang di bidang perdata Islam saja dan juga hanya diperuntukkan bagi orang-orang Islam saja.


Peradilan satu atap adalah bahwa empat lingkungan peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan peradilan tingkat terakhir serta melakukan pengawasan tertinggi bagi keempat lingungan peradilan tersebut.

Pembahasan

Realisasi Penerapan Satu Atap

Independensi kekuasaan lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan teoritik tentang pemisahan kekuasaan (separation of power), karena pemisahan kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dari cabang-cabang kekuasaan dimaksudkan untuk menjamin adanya independensi kekuasaan lembaga peradilan.

Keterkaitan antara pemisahan kekuasaan dengan konsep Negara hukum terletak pada pengaturan batas-batas kekuasaan yudikatif, eksekutif, dan legislatife ataupun hubungan antara cabang-cabang kekuasaan tersebut dalam konstitusi.

Teori independensi lembaga peradilan merupaka pilar dari Negara hukum. Ini dimaksudkan untuk tidak adanya campur tangan lembaga-lembaga diluar pengadilan, terutama kekuasaan eksekutif dan yudikatif terhadap pelaksaan fungsi pengadilan.

Alexis de tocquivelle memberikan tiga cirri bagi pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang independen:

Pertama; kekuasaan lembaga peradilan di semua Negara merupakan pelaksana fungsi peradilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja jika ada pelanggaran hukum atau hak warga Negara tanpa ada suatu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi.

Kedua; fungsi lembaga peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran kasus yang khusus.

Ketiga; kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sengketa yang diatur dalam hukum.

Langkah Pelaksanaan Sistem Satu Atap

Diketahui secara Universal bahwa pada akhir pemerintahan Orde Baru Indonesia, sebagaimana Negara-negara tetangganya, tertimpa krisis moneter, yang diikuti krisi ekonomi, social, politik, budaya. Krisis tersebut berlangsung dan berkepanjangan, sehingga terjadi reformasi di semua bidang. Tak terkecuali UUD 1945 yang telah di amandemen beberapa kali, demikian undang-undang juga menjabarankannya. Perumusan pasal 24 disempurnakan dan ditambah dengan pasal 24A, 24B, dan 24C. pasal-pasal tersebut mengatur kekuasaan lembaga peradilan. Pokok-pokok fikiran dalam pasal-pasal tersebut antara lain:

1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh:

a. Sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan lingkungan peradilan militer.

b. Sebuah mahkamah konstitusi.

3. Hakim Agung diusulkan oleh komisi yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan kemudian ditetapkan oleh presiden sebagai kepala Negara.

4. Ketua dan wakil ketua mahkamah Agung dipilih oleh dan di antara hakim Agung.

5. Komisi yudisial bersifat mandiri disamping memiliki wewenang mengusulkan hakim Agung, juga mempunyai wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Pada era reformasi untuk membenahai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman telah dibentuk beberapa undang-undang dan peraturan mengenai kekuasaan kehakiman dan badan-badan yang melaksanakannya, pada UU no. 4 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman perubahan atas UU no. 14.

Gagasan penerapan satu atap di peradilan agama ini muncul dari Syamsuhadi Irsyad, sewaktu masih menduduki jabatan direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam. Tahun 1999, yakni tentang:

Pemisahan fungsi Yudikatif dan Eksekutif, ini diambil dari pasal 24 UUD 1945.

Implementasi Pemisahan Fungsi Yudikatif dan Eksekutif, sebagaimana dalam Tap MPR No. X/MPR/1998, mengenai implementasi pemisahan fungsi yudikatif ke eksekutif.

Pemindahan kewenangan mengurusi organisasi, administrasi, dan finansial dari departemen (eksekutif) kepada Mahkamah Agung (yudikatif), menjadikan Mahkamah Agung memiliki kewenangan teknis yudisial dan kewenangan administrative manajerial. Mahkamah Agung menangani urusan teknis dan administrative kekuasaan kehakiman dalam satu atap.
Sebagai realisasi dari pasal 42 UU 4/2004 dan Keppres No. 21/2004 Menteri Agama telah menyerahkan organisasi, administrasi, dan finansiil Peradilan Agama kepada Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 30 Juni 2004. Yang sebelumnya pada tanggal 31 Maret 2004 Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia telah menyerahkan organisasi, administrasi dan finansiil dalm lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara kepada ketua Mahkamah Agung. Selanjutnya pada lingkungan Peradilan Militer pada tanggal 09 Juli 2004.
Dengan demikian empat lingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Negara kita baik pembinaan teknis yuridis dan pengawasan maupun organisasi, administrasi, dan finansiil berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung sehingga kemerdekaan seorang hakim di harapkan benar-benar lebih terjamin. Dalam pasal 4 ayat (3 dan 4) UU No. 4/2004 ditegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman di larang dan setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan tersebut dipidana.

Kesimpulan

Dari penjelasan umum UU Nomor 4 Tahun 2004 tersebut dapat diajukan pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang berkompeten memberikan saran dan pendapat dan tentang materi atau masalah apa yang diberi saran saat dilakukan pembinaan terhadap lembaga Peradilan Agama. Kedua pertanyaan tersebut perlu diwacanakan dan didiskusikan secara terbuka dengan harapan dapat memperoleh masukan yang bermanfaat bagi keberadaan Pengadilan Agama dimasa yang akan datang.

Pelaksanaan peradilan satu atap dengan pengalihan organisasi, administrasi dan keuangan kekuasaan kehakiman ke Mahkamah Agung tidak akan mengubah kinerja peradilan. Pengalihan adalah pelaksanaan perintah UU no 35 tahun 1999.

Sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung (MA) secara efektif telah dimulai 1 April 2004. Hasil revisi UU nomor 14/1985 tentang Mahkamah Agung yang telah ditetapkan DPR.

Daftar Pustaka

Mujahidin, Ahmad, Dr., Peradilan Satu Atap di Indonesia (Bandung, Refika Aditama, 2007)

Zuhriah, Erfaniah, M.H., Peradilan Agama di Indonesia (Malang, UIN Press, 2009)



0 Responses