AMBIGUITAS PENEGAKAN HUKUM ISLAM DI DINDONESIA

B. PEMBAHASAN

  1. Peradilan Islam Di Indonesia

Kata peradilan Islam bila tanpa dirangakaikan dengan kata-kata Indonesia makna yang dimaksudkan adalah peradilan Islam menurut konsepsi Islam secara Unversal. Oleh karena itu maka kemudian peradilan islam disini yang dimaksudkan adalah peradilan islam secara keseluruhan, meliputi semua perkara-perkara menurut ajaran Islam. Untuk menghindari kekeliruan pemahaman tentang masalah “peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”, karena semua peradilan islam di negara-negara Islam atau negara dengan mayoritas Muslim dimanapun mempunyai azas peradilan yang sama.[1] Akan tetapi yang saya bingungkan secara pribadi penulis, mengapa tidak menggunakan istilah peradilan Islam, toh Peradilan Agama adalah merupakan peradilan khusus untuk orang-orang yang beragama Islam.

Ketika kita membicarakan terkait masalah peradilan Islam maka yang terbesit di benak kita adalah hokum secara keseluruhan mencangkup semua aspek ajaran islam. Akan tetapi di Indonesia mempunyai istilah sendiri yaitu Peradilan Agama, yang merupakan peradilan Islam secara terbatas atau limitatif dan telah di sesuaikan dengan kondisi Indonesia. Yang dimaksud terbatas diatas adalah peradilan agama hanya mencangkup golongan rakyat tertentu, bidang perdata tertentu, dan hanya untuk orang-orang muslim di Indonesia.

  1. Ambiguitas Penegakan Hukum di Indonesia

Negara Republik Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum yang modern.1 Hukum di Indonesia berwujud hukum tertulis dan tidak tertulis (Penjelasan Umum UUD 1945). Sejarah bangsa sekitar proklamasi menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada keinginan untuk mendirikan Negara Indonesia yang sekuler, lepas dari hukum dan ajaran agama. Kedudukan agama dalam Negara Republik Indonesia sangat kuat.

Dalam pembahasan kali ini lebih terfokus pada pembahasan tentang penegakan hukum di Indonesia khususnya untuk hukum Islam. Yang dimaksud disini dengan hukum Islam adalah hukum yang diyakini memiliki keterkaitan dengan sumber dan ajaran Islam, yaitu hukum amaly berupa interaksi sesama manusia, jinayat/pidana Islam. Jadi, segala ketentuan yang berhubungan dengan ibadah murni/mahdah tidak termasuk dalam pengertian hukum Islam. Ringkasnya, ia adalah hukum perdata Islam tertentu yang menjadi hukum positif bagi umat Islam, yang sekaligus merupakan hukum terapan bagi Peradilah Agama.

Mempelajari sejarah hukum sama dengan mempelajari hukum itu sendiri, hal ini juga berlaku pada hukum Islam. Hukum Islam didalamnya terkandung nilai-nilai fitriyah yang abadi dan bertumpu pada prisnsip-prinsip yang solid, tidak akan berubah dan tidak akan diubah. Bidang ini meliputi segala tatanan yang qat’iyah dan merupakan jati diri hukum (agama) Islam.

Setelah sekilas mengenal yang namanya hukum Islam berikutnya yang akan dibahas disini adalah tentang perkembangan penegakan hukum di Indonesia dari kurun waktu tertentu, dan pembahasan disini akan terfokus pada masa orde baru hingga sekarang ini, karena penegakan hukum yang mengalami ambiguitas paling menonjol yaitu ditunjukkan mulai pada masa tersebut. Telah kita ketahui bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, akan tetapi penegaan hokum Islam nya masih sangat benyak menimbulkan pertanyaan, atau bisa di bilang ambigu.

  1. Perubahan Haluan Cara Penegakan Hukum di Indonesia

Lahirnya orde baru ditandai dengan lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966. lahirnya orde baru ini umat Islam juga telah mempunyai semangat beru terhadap penegakan atau perkembangan terhadap hukum Islam di Indonesia. Beberapa hal yang menandai harapan baru itu adalah dengan:

a. Tumbangnya PKI sebagai musuh utama organisasi-organisasi Islam yang selalu bekerjasama dengan kelompok sekuler untuk menyingkirkan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia;

b. Pengaruh Soekarno dalam percaturan politik kenegaraan yang selalu menafikan kependudukan hukum Islam dalam konstitusi dan perundang-undangan nasional;

c. Tampilnya KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai pendobrak Orde Lama yang di backing oleh AKBRI;

d. Bersatunya ormas Islam dalam perjuangan untuk memberantas G 30 S PKI dan mengusulkan pembubaran PKI serta antek-anteknya.

Dalam situasi seperti itu timbulah semangat baru, semacam romantisme kebangkitan gerakan politis Islam. Selain realisasi dalam politis Islam salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menempatkan “Piagam Jakarta” sebagai sumber hukum yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945. Alasan Piagam Jakarta dijadikan sebagai landasan berpijak itu adalah karena dokumen histories ini telah dikukuhkan oleh Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959, tentang kembali pada UUD 1945. Dengan landasan itulah di Indonesia telah dibenarkan untuk membentuk perundang-undangan di bidang hukum Islam yang berlaku khusus bagi orang-orang Islam.[2]

Dalam kurun waktu yang berbeda, lahirnya hukum positif Islam di bidang perkawinan juga menuai persoalan yang baru, karena banyaknya permasalahan ketika undang-undang itu dibuat atau masih dalam draf, maka yang terjadi produk undang-undang kurang sempurna atau sesuai dengan hukum Islam secara penuh. Masalah-masalah yang diatur juga belum tuntas, perumusan pasal-pasalnya dapat menimbulkan pengertian dan pemahaman yang berbeda-beda. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya perbedaan falsafat hukum yang menjadi dasar pemahaman terhadap undang-undang perkawinan yang berlaku bagi warga Negara yang plural. Selain itu, juga kemungkinan perbedaan pengertian hukum ketika orang membaca rumusan undang-undang tersebut.[3]

Setelah lahirnya UU No. 7 Tahun 1974 itu selang beberapa lama lahirlah Kompilasi Hukum Islam yaitu berasaskan Inpres No. 1 Tahun 1991, sebagai hasil ijtihad bersama mengandung beberapa hikmah salah satunya adalah memositifkan hukum Islam, khususnya dibidang hukum keluarga yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama. Dan permasalahannya sekarang adalah ketika seorang hakim dalam melakukan/memberi keputusan/menegakkan sebuah hukum harus berpedoman kemana? Apakah KHI yang dihasilkan oleh hasil ijtihad tersebut ataukah kepada UU yang sudah ditetapkan seperti UU No. 7 Tahun 1974 pada masalah perkawinan? Dan manakah yang paling diprioritaskan? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang menimbulkan multi tafsir dan interpretasi, sehingga penegakan hukum (Islam) di Indonesia mengalamai makna ganda atau ambiguitas.

  1. Peradilan Agama dan Reformasi Hukum Islam

Sejak dibuat UU No. 7 Tahun 1989 (Undang-Undang Peradilan Agama) yang mulai diberlakukan pada 29 Desember 1989, landasan yuridis pelaksanaan Peradilan Agama di Indonesia diharapkan semakin mantap dan kuat. Pada usianya yang ke -16, UU tersebut memerlukan berbagai evaluasi dalam pelaksanaannya dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana efektivitas pelaksanaan undang-undang tersebut di masyarakat selama ini.

Adanya kemajuan dalam mengatur eksistensi Peradilan Agama melalui pembentukan UU No. 7 Tahun 1989 ternyata menjadi pendorong semangat dalam memunculkan produk-produk perundang-undangan hukum Islam yang sangat dibutuhkan masyarakat. Sebagai contoh, lahirnya UU Pengelolaan Zakat, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, dibuatnya aturan hukum yang berkaitan dengan perbankan Syariah dll.

C. KESIMPULAN

Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, akan tetapi hokum yang deberlakukan di Indonesia bisa dikatakan ambigu, apalagi hokum islamnya. Sejarah bangsa sekitar proklamasi menunjukkan kepada kita bahwa tidak ada keinginan untuk mendirikan Negara Indonesia yang sekuler, lepas dari hukum dan ajaran agama. Kedudukan agama dalam Negara Republik Indonesia sangat kuat.

Kemudian ketika lahirnya UU No. 7 Tahun 1974 itu selang beberapa lama lahirlah Kompilasi Hukum Islam yaitu berasaskan Inpres No. 1 Tahun 1991, sebagai hasil ijtihad bersama mengandung beberapa hikmah salah satunya adalah memositifkan hukum Islam, khususnya dibidang hukum keluarga yang berlaku dilingkungan Peradilan Agama. Dan permasalahannya sekarang adalah ketika seorang hakim dalam melakukan/memberi keputusan/menegakkan sebuah hukum harus berpedoman kemana? Apakah KHI yang dihasilkan oleh hasil ijtihad tersebut ataukah kepada UU yang sudah ditetapkan seperti UU No. 7 Tahun 1974 pada masalah perkawinan? Dan manakah yang paling diprioritaskan? Pertanyaan-pertanyaan tersebutlah yang menimbulkan multi tafsir dan interpretasi, sehingga penegakan hukum (Islam) di Indonesia mengalamai makna ganda atau ambiguitas.

D. DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Amrullah. 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gama Insani Pers.

An-Naim, Abdullah Ahmed, dan Mohammed Arkoun. 1993. Deskontruksi Syariah (II) kritik Konsep Penjelajahan lain.

Zuhriah, Erfaniah. 2008. Peradilan Agama di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut. Malang: UIN-Malang Press.



[1] Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia (Malang: UIN-Malang Press, 2009) hlm. 14-15

[2] Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Gama Insani Pers)

[3] An-Naim, Abdullah Ahmed, dan Mohammed Arkoun, Deskontruksi Syariah (II) kritik Konsep Penjelajahan lain.

0 Responses