EKSISTENSI PERADILAN AGAMA DALAM SISTEM PERADILAN NASIONAL DAN PERANANYA DALAM PENEGAKAN SUPREMASI HUKUM DI INDONESIA

A. Pendahuluan

Peradilan di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah lahir. Oleh karena itu untuk sebelum membahas tentang peradilan agama prakemerdekaan selayaknya menarik sejarah ini jauh kebelakang sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada masa kerajaan.

Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu peradilan pradata dan peradilan pradu. Materi hukum peradilan bersumber dari kerajaan hindu dan ditulis dalam prapakem. Sedangkan peradilan pradu menggunakan hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan – kebiasaan masyarakat. Dalam prakteknya, peradilan pradata menangani persoalan – persoalan yang berhubungan dengan wewenang raja, sedangkan peradilan padu menangani persoalan – persoalan yang tidak berhubungan dengan wewenang raja.

Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah raja Mataram menggantinya dengan peradilan serambi yang berasaskan islam. Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram. Peradilan agama sebagian dari mekanisme penyelenggaraan kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup peradilan agama dan menghidupkan kembali peradilan pradata. Setelah masa ini peradilan agama eksis kembali. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah kitab hukum islam “shirath al – Mustaqim” yang ditulis Nurudin Ar-raniri. Kitab ini menjadi rujukuan para hakim di Indonesia. Pada tahun 1642, terbit Statuta Batavia yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam.

Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No. 152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi peradilan agama dan hukum islam di Indonesia sampi sekarang. Staatsblad ini dapat dilihat sebagai titik awal dimulainya interaksi dua sistem peradilan, Islam dan Barat. Selanjutnya pada tahun 1931 membentuk sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa depan peradilan Agama.

Hasil dari komisi ini berupa dikeluarkannya StaatsBlad No. 53 yang terdiri dari tiga bagian; bagian I tentang perubahan nama pengadilan dari Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht dan mencabut wewenang dalam masalah waris, sehingga hanya menangani masalah perkawinan. Bagian II memuat aturan tentang campur tangan Lanndrrad dalam soal peradilan harta bagi orang – orang Indonesia asli. Bagian III memuat tentang pembentukan balai harta peninggalan bagi orang Indonesia asli.

Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori resepsi, pada tahun 1937 keluarlah Staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah – masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi peradilan agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa peradilan agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pengukuhan dari peradilan Negeri.

Pengurangan terhadap kompetensi peradilan Agama tersebut tentunya sangat mengecewakan masyarakat muslim Indonesia karena peradilan agama pada waktu itu betul – betul mereka angkat sebagai lembaga peradilan layaknya lembaga peradilan, bukan sebagai lembaga Agama semata. Belum lagi pada masa ini peradilan Agama hanya dapat menghidupi dirinya sendiri melalui ongkos perkara yang diterimanya. Ini dilakukan karena pemerintah kolonial tidak pernah mensubsidi peradilan agama untuk pengelolaan administrasinya, termasuk tidak menggaji hakim dan pegawainya. Kenyataan bahwa hakim dan peradilan agama menerima uang dari mereka yang menggunakan jasa peradilan inilah yang belakangan dipakai sebagai alat oleh Belanda untuk mengatakan bahwa peradilan Agama adalah sarang korupsi.

Demikianlah liku-liku eksistensi peradilan agama pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang tidak ada perubahan signifikan tentang eksistensi peradilan agama sampai memasuki kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Eksistensi peradilan agama dalam sistem peradilan agama dan perananya dalam

penegakan supremasi hukum.

Jauh sebelum Indonesia, peradilan agama telah banyak berperan dalam penyelesaian sengketa pada masyarakat muslim di Indonesia. Namun hingga tahun 1989,keberadaan peradilan agama ini hanya sebagai pelengkap saja pada waktu itu tidak diberi wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri. Pengadilan agama dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau ijin dari pengadilan negeri dalam bentuk eksekutoir verklaring. Fenomena ini amat unik sekaligus diskriminatif, sebab suatu lembaga peradilan tidak dapat menjalankan keputusannya sebelum diizinkan oleh lembaga peradilan lain yang levelnya stingkat. Dikatakan diskriminatif, karena lembaga peradilan lainya yang diakui oleh Undang-undang No.14 tahun 1970 diberi wewenang untuk menjalankan keputusannya.

Karena kekecewaanya terhadap politik sistem hukum nasional yang diskriminatif, munawir sadzali pernah mengatakan bahwa peradilan agama sebagai peradilan pupuk bawang. Kenyataan itu diperkuat lagi dengan penampilan fisik gedung peradilan agama yang tidak menampakan layaknya gedung peradilan. Belum lagi hingga tahun 1990an masih banyak hakim-hakimnya yang hanya berstatus sebagai pegawai honorer, tidak seperti hakim-hakim dilingkungan peradilan lain yang merupakan pegawai Negara.

Barulah kemudian pada tahun 1989 melalui Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang disahkan pada tanggal 27 desember, peradilan Agama tidak lagi menjadi peradilan pupuk bawang melainkan ia sudah dapat berperan sebagai mana lembaga peradilan yang sesungguhnya (Coort of Law).Hal ini merupakan kulminasi perjuangan politik Islam dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya Undang-undang tersebut maka kemudian lahir peraturan-peraturan lainya seperti intruksi presiden No.I tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam (HKI), Undang-undang No.7 tahun 1992 jo Undang-undang No.10 tahun, 1998 dan Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang perbankan Syariah, Undang-undang No.35 tahun 1999 tentang” penyatuan” semua lingkumgan peradilan menjadi satu atap dibawah Mahkamah Agung, Undang-undang No.17 tahun 1999 tentang Haji, Undang-undang No.38/2001 tentang zakat dan Undang-undang no.18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus di Nangru Aceh Darussalam, Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokad yang menyetarakan sarjana Syariah dengan sarjana Hukum dan memberi peluang untuk menjadi Advokad, dan Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang penambahan kompetensi peradilan agama, yang isinya tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sehingga wewenangnya meliputi : Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Ekonomi Syariah. Undang-undang No.3 tahun 2006 itu muncul dalam rangka penegakan dari undang-undang No.7 tahun 1992 jo.

Undang-undang No.10 tahun 1989 dan undang-undang No.23 tahun 1999 tentang sistem perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya sistem perbankan Syariah. Ini membuktikan bahwa eksistensi peradilan Agama dalam sistem peradilan Nasional dan perananya dalam penegakkan Supremasi hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Zuhriah Erfaniah,M.H. Peradilan Agama Indonesia sejarah pemikiran dan realita. UIN-MALANG PRES. Malang. 2009.

M. Hahaya Harahap S.H. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agam UU No.7 tahun 1989. Sinar Grafika. Jakarta.2001

0 Responses