A. Pendahuluan
Peradilan di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang. Jauh sebelum kemerdekaan, sistem peradilan agama sudah lahir. Oleh karena itu untuk sebelum membahas tentang peradilan agama prakemerdekaan selayaknya menarik sejarah ini jauh kebelakang sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Sebelum Islam datang ke
Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah raja Mataram menggantinya dengan peradilan serambi yang berasaskan islam. Penggantian ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram. Peradilan agama sebagian dari mekanisme penyelenggaraan kenegaraan pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup peradilan agama dan menghidupkan kembali peradilan pradata. Setelah masa ini peradilan agama eksis kembali. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah kitab hukum islam “shirath al – Mustaqim” yang ditulis Nurudin Ar-raniri. Kitab ini menjadi rujukuan para hakim di
Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No. 152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi peradilan agama dan hukum islam di
Hasil dari komisi ini berupa dikeluarkannya StaatsBlad No. 53 yang terdiri dari tiga bagian; bagian I tentang perubahan nama pengadilan dari Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht dan mencabut wewenang dalam masalah waris, sehingga hanya menangani masalah perkawinan. Bagian II memuat aturan tentang campur tangan Lanndrrad dalam soal peradilan harta bagi orang – orang
Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori resepsi, pada tahun 1937 keluarlah Staatsblad 1937 No. 116. Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah – masalah lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetensi peradilan agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa peradilan agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pengukuhan dari peradilan Negeri.
Pengurangan terhadap kompetensi peradilan Agama tersebut tentunya sangat mengecewakan masyarakat muslim
Demikianlah liku-liku eksistensi peradilan agama pada masa penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Jepang tidak ada perubahan signifikan tentang eksistensi peradilan agama sampai memasuki kemerdekaan dan terbentuknya Negara Kesatuan Republik
B. Eksistensi peradilan agama dalam sistem peradilan agama dan perananya dalam
penegakan supremasi hukum.
Jauh sebelum
Karena kekecewaanya terhadap politik sistem hukum nasional yang diskriminatif, munawir sadzali pernah mengatakan bahwa peradilan agama sebagai peradilan pupuk bawang. Kenyataan itu diperkuat lagi dengan penampilan fisik gedung peradilan agama yang tidak menampakan layaknya gedung peradilan. Belum lagi hingga tahun 1990an masih banyak hakim-hakimnya yang hanya berstatus sebagai pegawai honorer, tidak seperti hakim-hakim dilingkungan peradilan lain yang merupakan pegawai Negara.
Barulah kemudian pada tahun 1989 melalui Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang disahkan pada tanggal 27 desember, peradilan Agama tidak lagi menjadi peradilan pupuk bawang melainkan ia sudah dapat berperan sebagai mana lembaga peradilan yang sesungguhnya (Coort of Law).Hal ini merupakan kulminasi perjuangan politik Islam dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya Undang-undang tersebut maka kemudian lahir peraturan-peraturan lainya seperti intruksi presiden No.I tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam (HKI), Undang-undang No.7 tahun 1992 jo Undang-undang No.10 tahun, 1998 dan Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang perbankan Syariah, Undang-undang No.35 tahun 1999 tentang” penyatuan” semua lingkumgan peradilan menjadi satu atap dibawah Mahkamah Agung, Undang-undang No.17 tahun 1999 tentang Haji, Undang-undang No.38/2001 tentang zakat dan Undang-undang no.18 tahun 2001 tentang Otonomi khusus di Nangru Aceh Darussalam, Undang-undang No.18 tahun 2003 tentang Advokad yang menyetarakan sarjana Syariah dengan sarjana Hukum dan memberi peluang untuk menjadi Advokad, dan Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang penambahan kompetensi peradilan agama, yang isinya tentang perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan Agama sehingga wewenangnya meliputi : Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, dan Ekonomi Syariah. Undang-undang No.3 tahun 2006 itu muncul dalam rangka penegakan dari undang-undang No.7 tahun 1992 jo.
Undang-undang No.10 tahun 1989 dan undang-undang No.23 tahun 1999 tentang sistem perbankan Nasional yang mengizinkan beroperasinya sistem perbankan Syariah. Ini membuktikan bahwa eksistensi peradilan Agama dalam sistem peradilan Nasional dan perananya dalam penegakkan Supremasi hukum di
DAFTAR PUSTAKA
Zuhriah Erfaniah,M.H. Peradilan Agama
M. Hahaya Harahap S.H. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agam UU No.7 tahun 1989. Sinar Grafika. Jakarta.2001