UPAYA PENYELESAIAN PERKARA MELALUI PERDAMAIAN PADA PENGADILAN AGAMA

PENDAHULUAN
Penyelesaian perkara di Pengadilan Agama (PA) melalui perdamaian merupakan suatu harapan semua pihak.Berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, perdamaian selalu diupayakan di tiap kali persidangan.Bahkan, pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara pribadi, tidak boleh diwakilkan. Hakim sebelum memeriksa perkara lebih lanjut wajib berusaha mendamaikannya, dengan memberi nasihat-nasihat.
Namun karena keadaan hubungan suami isteri yang berperkara di pengadilan sudah sangat parah hati mereka sudah pecah, maka upaya perdamaian selama ini tidak banyak membawa hasil. Dari perkara yang masuk ke PA secara nasional selama tahun 2007, sejumlah 217.084, hanya 11.327 perkara yang dicabut. Ini berarti hanya 5,2% yang berhasil damai atau didamaikan.
Untuk menangani perkara perdata yang masuk ke pengadilan, telah dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.2 Tahun 2003, yang telah direvisi dan diganti oleh PERMA No 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. PERMA ini dimaksudkan untuk memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak dalam rangka menemukan penyelesaian perkara secara damai yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Peran BP4 sebagai badan penasihatan, pembinaan dan pelestarian perkawinan, sesuai visi dan misinya, diharapkan dapat berperan lebih besar lagi dalam melakukan upaya perdamaian terhadap perkara-perkara yang masuk PA, bedasarkan PERMA No 01/2008 yang baru saja ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008.

PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
Dari perkara yang diterima oleh PA secara nasional pada tahun 2007, sejumlah 217.084, perkara di bidang perkawinan merupakan jumlah terbesar, yaitu 213.933 perkara, atau sama dengan 98,5%. Perkara lainnya adalah di bidang ekonomi syari’ah, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqah/zakat/infaq, Permohonan Pertolongan Pembagian Harta Peninggalan dan lain- lain. Jumlah perkara yang diterima dan dicabut pada 5 (lima) tahun terakhir adalah sebagai berikut:
Tahun 2003 diterima 154.524 dicabut 8.278 (5,4%) Tahun 2004 diterima 165.266 dicabut 8.759 (5,3%) Tahun 2005 diterima 175.133 dicabut 9.188 (5,2%) Tahun 2006 diterima 181.077 dicabut 9.512 (5,3%) Tahun 2007 diterima 217.084 dicabut 11.327 (5,2%)8
Dari data di atas, terlihat bahwa dari tahun ke tahun perkara yang diterima oleh pengadilan agama mengalami kenaikan, sementara perkara yang dicabut relatif sama setian tahun, yaitu berkisar antara 5,2 – 5,4 %.

UPAYA PERDAMAIAN
Berdasarkan Hukum Acara yang berlaku, upaya perdamaian di pengadilan selalu dilakukan di tiap kali persidangan.Bahkan, pada sidang pertama, suami isteri harus hadir secara pribadi, tidak boleh diwakilkan. Hakim sebelum memeriksa perkara lebih lanjut wajib berusaha mendamaikannya, dengan memberi nasihat-nasihat. Mahkamah Agung belakangan ini terus melakukan upaya agar penyelesaian perkara perdata dapat dilakukan melalui perdamaian. Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL dalam berbagai kesempatan belakangan ini sering menyatakan bahwa sebaiknya penyelesaian perkara pada pengadilan dilakukan oleh yang berperkara itu sendiri secara damai, atau dengan bantuan tokoh masyarakat, tokoh agama dan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada. Tidak harus selalu diselesaikan oleh Pengadilan.
Sebagai contoh, pada tahun 2006-2007, perkara yang diputus oleh pengadilan itu hanyalah 8%. Tahun 2005-2006 dan 2004-2005 adalah 7,7% dan 4,5%. Sementara perkara yang diterima tahun 2006-2007 adalah sebanyak 27.313. Tahun-tahun sebelumnya adalah sekitar 35.000 dan 37.500 perkara.
Kini, setelah adanya Amandemen Undang-undang Hukum Keluarga yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Juli 2006, pendekatan yang lebih banyak menekankan pada upaya perdamaian mediasi dan konsultasi itu semakin dikokohkan menjadi suatu sistem penanganan perkara secara formal dan sistematis.
Di Indonesia sendiri, upaya perdamaian ini juga terus dilakukan dengan gencar. Namun, karena peraturan perundang-undangan mengenai hukum acara berbeda, maka sudah barang tentu upaya, proses dan hasil detailnya pun akan lain. Namun demikian, ada kesamaannya yaitu bahwa penanganan perkara perdata sebaiknya dilakukan dengan proses perdamaian. Upaya-upayapun kini sedang terus-menerus secara gencar dilakukan, baik studi khusus, pelatihan dan penyiapan peraturan yang menjadi acuannya.
Salah satu peraturan yang baru saja diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tanggal 31 Juli 2008 adalah PERMA No 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dari PERMA ini, nampak sekali keinginan dan upaya yang kuat dari Mahkamah Agung agar perkara perdata dapat diselesaikan secara mediasi, yang menghasilkan win-win solution dan rasa keadilan bagi para pihak.

PERMA NO. 01/2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN.
A. Beberapa ketentuan.
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 01/2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan ini ditetapkan pada tanggal 31 Juli 2008 dan berlaku sejak tanggal ditetapkannya. PERMA ini merupakan revisi sekaligus pengganti dari PERMA No 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan.
Beberapa catatan dari ketentuan yang terdapat pada PERMA No 01/2008, dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bagi lingkungan peradilan agama, PERMA ini lebih tegas dan lebih jelas mengenai pelaksanaan dan prosedur mediasi di lingkungan peradilan agama, dibanding PERMA No 2/2003. Dalam PERMA No 2/2003 Pasal 16 disebutkan: “Apabila dipandang perlu ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, selain dipergunakan dalam lingkungan peradilan umum, dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan lainnya”. Sedangkan dalam PERMA No 01/2008 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1, angka 13 dan 14 disebutkan bahwa “Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama”, dan “Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama”.
2. Mengenai perkara yang dimediasi disebutkan sebagai berikut: Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator (pasal 4).
3. Mengenai kekuatan berlakunya PERMA, disebutkan antara lain bahwa tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan PERMA ini mengakibatkan putusan batal demi hukum (pasal 2).
4. Mediator dapat dipilih seorang atau lebih dari hakim, advokat atau akademisi hukum, profesi bukan hukum yang dianggap menguasai atau berpengalaman dalam pokok perkara (pasal 8).
5. Mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti diklat yang diselenggarakan oleh lembaga yang terakreditasi oleh Mahkamah Agung. Jika di suatu wilayah pengadilan, tidak ada yang memiliki sertifikat, maka hakim di lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator (pasal 5).
6. Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat:
a. Mengajukan permohonan kepada Ketua MA-RI.
b. Memiliki instruktur yang memiliki sertifikat telah mengikuti diklat mediasi dan diklat sebagai instruktur untuk diklat mediasi.
c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan.(pasal 5).
7. Mengenai biaya pemanggilan para pihak, lebih dahulu dibebankan kepada penggugat, melalui uang panjar biaya perkara, kecuali ada kesepakatan lain. Jika tidak ada kesepakatan, hakim menentukan (pasal 3).
8. Biaya jasa/honor mediator ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasar kesepakatan. Hakim yang jadi mediator tidak mendapat bayaran jasa (pasal 10).
9. Mediator wajib mempersiapkan jadwal pertemuan, mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam mediasi dan mencari pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Jika diperlukan, mediator dapat melakukan pertemuan dengan salah satu pihak (pasal 15) .
10. Atas persetujuan para pihak, mediator dapat mengundang seorang atau lebih tenaga ahli yang terkait dengan persoalan (pasal 16).
11. Tempat mediasi ditentukan atas kesepakatan para pihak. Khusus mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan (pasal 20).
12. Atas dasar kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya perdamaian, baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan PK sepanjang perkara itu belum diputus (pasal 21).
13. Sifat proses mediasi adalah tertutup, kecuali para pihak menentukan lain (pasal 6).
14. Materi kesepakatan perdamaian tidak boleh bertentangan dengan hukum, harus dapat dilaksanakan dan tidak boleh memuat iktikad yang tidak baik (pasal 17).

B. Prosedur Mediasi
Secara garis besar prosedur mediasi adalah sebagai berikut:
1. Pada sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding memilih mediator (pasal 11). Daftar mediator disediakan di pengadilan (pasal 9).
2. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majlis hakim. Ketua majlis segera memberitahu mediator untuk melaksanakan tugas (pasal 11).
3. Para pihak, jika gagal menyepakati mediator terpilih, wajib segera menyampaikannya kepada ketua majlis. Ketua majlis segera menunjuk hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat.Kalau tidak ada, maka hakim pemeriksa perkara, dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majlis wajib menjalankan fungsi mediator (pasal 11).
4. Paling lama 5 (lima) hari kerja setelah mediator disepakati, para pihak dapat menyerahkan resume perkara16 kepada satu sama lain dan kepada mediator. Jika para pihak gagal menyepakati mediator, maka resume perkara diberikan kepada hakim mediator yang ditunjuk (pasal 13).
5. Proses mediasi paling lama 40 hari kerja, dan dapat diperpanjang paling lama 14 hari kerja, atas dasar kesepakatan para pihak (pasal 13).
6. Mediator wajib menyatakan mediasi gagal, jika salah satu atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan yang telah disepakati, atau tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut (pasal 14).
7. Jika dicapai kesepakatan dalam mediasi, para pihak dan mediator menandatangani rumusan kesepakatan. Para pihak wajib menyampaikannya dalam sidang yang ditentukan dan dapat mintakesepakatan tersebut dikuatkan dalam bentuk akte perdamaian. Jika ada salah satu pihak tidak menghendaki kesepakatan itu dikuatkan dalam bentuk akte perdamaian, kesepakatan harus memuat klausula pencabutan gugatan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai (pasal 17).
8. Jika dalam waktu yang ditentukan, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakannya secara tertulis dan memberitahukannya kepada hakim. Segera setelah itu, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai hukum acara yang berlaku (pasal 18)
9. Hakim tetap berwenang untuk terus mengupayakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Jika para pihak berkeinginan untuk berdamai, maka upaya perdamaian dapat berlangsung paling lama 14 hari kerja, sejak penyampaian keinginan tersebut (pasal 18).
10. Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak selama proses mediasi tidak dapat dijadikan bukti dalam proses persidangan perkara, catatan mediator wajib dimusnahkan, mediator tidak dapat menjadi saksi dan tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata (pasal 19).
C. Kesepakatan di Luar Pengadilan.
Para pihak dengan bantuan mediator bersertifikat, yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian, dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akte perdamaian dengan cara mengajukan gugatan.
Pengajuan gugatam sebagaimana disebutkan di atas harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen- dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa.
Hakim di hadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian, apabila kesepakatan tersebut memenuhi syarat-syarat: (a) sesuai kehendak para pihak, (b) tidak bertentangan dengan hukum (c) tidak merugikan pihak ketiga, (d) dapat dieksekusi, dan (e) dengan iktikad baik.

KETERKAITAN BP4 DALAM UPAYA PERDAMAIAN
Apa yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung selama ini, sangat terkait dengan visi dan misi BP4. Dari namanya saja BP4 itu adalah Badan Penasihatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian, dan sekarang menjadi Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan.
Oleh karena itu, BP4 kini sudah secara terbuka diberi kesempatan oleh PERMA untuk dapat ikut berkiprah dalam melakukan upaya perdamaian dalam sistem penyelesaian perkara di pengadilan melalui mediasi. Keikut sertaan tersebut dapat ditempuh melalui hal-hal sebagai berikut:
1. Mempersiapkan tenaga-tenaga BP4 untuk ikut diklat mediator yang diselenggarakan oleh lembaga diklat yang sudah terakreditasi oleh MA.
2. Mendaftarkan nama-nama mediator, yang sudah mengikuti pendidikan dan mendapatkan sertifikat, kepada Pengadilan Agama.
3. Sementara itu, secara simultan, mempersiapkan juga organisasi BP4 menjadi lembaga yang dapat menyelenggarakan diklat mediator tersendiri.
BP4 akan mampu menyiapkan mediator-mediator handal melebihi mediator-mediator lainnya. BP4 juga akan mampu berfungsi sebagai lembaga penyelenggara diklat mediator dan diklat trainer of training di bidang mediator, yang terakreditasi dan berwenang mengeluarkan sertifikat.
Keadaan ini akan mempermudah keberhasilan proses perdamaian. Semestinya, kemungkinan keberhasilan perdamaian yang difasilitasi oleh mediator BP4 akan lebih besar dari keberhasilan yang dilakukan oleh mediator lainya.

Organisasi BP4 sudah berdiri sejak lama dan mempunyai jaringan sampai kecamatan serta sudah sangat berpengalaman dalam menyelenggarakan kursus-kursus dan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pembiaan keluarga sakinah.Penetapan BP4 sebagai lembaga yang terakreditasi dalammenyelenggarakan diklat mediator, secara teoritis, hanya tinggal formalitasnya saja.

UPAYA PENINGKATAN PERAN BP4.
Namun demikian, untuk meningkatkan peran BP4 dalam upaya perdamaian bagi perkara-perkara yang ditangani PA, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari para tokoh BP4 .Pertama, perlu menambah tokoh-tokoh yang ahli atau melakukan peningkatan wawasan dan pemahaman di bidang psychology keluarga dan hukum positif yang berkaitan dengan kewenangan PA.
Kedua, perlu kerjasama dengan Departemen Agama atau pihak lainnya dalam memperoleh dana operasional. Mediasi yang dilakukan oleh mediator bukan hakim akan menambah beban biaya bagi para pihak. Hakim akan lebih cenderung dipilih sebagai mediator dari pada yang bukan hakim, dengan alasan bahwa hakim yang bertindak sebagai mediator tidak dibenarkan menerima imbalan sebagai mediator. Perlu diupayakan agar para pihak yang menggunakan mediator dari BP4 dibebaskan dari biaya jasa.
Ketiga, perlu pembenahan organisasi, sehingga BP4 dapat ditunjuk sebagai lembaga penyelenggara diklat terakreditasi dan dapat memberikan sertifikat mediator.
0 Responses